Scout Finch menceritakan kisah hidupnya ketika ia berumur enam tahun, ketika Dill Harris datang ke kehidupannya dan kakak laki-lakinya, Jem Finch. Dill adalah keponakan Miss Rachel, yang tinggal tidak jauh dari kediaman mereka di Maycomb County. Hidupnya berubah setelah Dill harus kembali ke rumahnya di Meridian.
Scout yang masih anak-anak mulai memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang kehidupan manusia di sekitarnya. Novel ini mengambil setting waktu di tahun 1930-an, ketika perbedaan warna kulit di Amerika masih sangat kentara. Setiap orang berkulit hitam dianggap pantas menerima hukuman gantung meski tanpa proses pengadilan.
Atticus Finch, ayah Scout dan Jem yang bekerja sebagai seorang pengacara saat itu dengan berani memilih untuk membela seorang kulit hitam yang juga budak bernama Tom Robinson dalam sebuah pengadilan dengan kasus pemerkosaan terhadap wanita berkulit putih.
Scout yang dengan polosnya selalu menanyakan hal yang ingin diketahuinya tidak setuju dengan hasil pengadilan yang masih menyatakan Tom Robinson sebagai orang bersalah. Namun apa yang bisa dilakukan seorang anak perempuan berumur tujuh tahun terhadap keputusan pengadilan yang didominasi oleh orang kulit putih?
Dalam kutipan “Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya … hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya,” Harper Lee mengajak pembaca melihat kehidupan orang dewasa yang selalu berprasangka antara satu sama lain melalui sudut pandang Scout.
To Kill A Mockingbird sempat memenangkan piala Pulitzer di tahun 1961. Novel yang mengguncang khazanah sastra dunia ini sudah terjual hingga 40 juta kopi di seluruh dunia, dan menurut Library Journal, To Kill A Mockingbird adalah “Novel Terbaik Abad Ke-20”.
Setelah sukses dengan To Kill A Mockingbird, Harper Lee kembali menerbitkan karyanya yang hilang selama 60 tahun, Go Set A Watchman, novel yang menginspirasi lahirnya mahakarya To Kill A Mockingbird yang mengantarkannya pada penganugerahan Presidential Medal of Freedom 2007, The Highest Civilian Honor USA.
Judul buku: To Kill A Mockingbird
Pengarang: Harper Lee
Penerbit: Qanita
Cetakan: 1, September 2015
Tebal buku: 396 halaman
(Tulisan ini telah diterbitkan di rubrik “Resensi” Majalah What’s Up! volume 7 no. 2 Agustus 2017)
Julukan “The Coward Sarcastic” atau “Si Sarkastik yang Penakut” saya rasa dapat menggambarkan karakter utama dalam novel ini. Holden Caufield namanya, seorang remaja 16 tahun yang sudah bosan dengan kehidupannya di sekolah asrama khusus laki-laki daerah Agerstown, Pennsylvania, yaitu Pencey Prep.
Cerita ini mengisahkan seorang anak lelaki dalam mencari jati dirinya. Pandangan skeptisnya terhadap kemunafikan orang-orang di sekitarnya membuat dia muak dengan segala yang dialaminya selama ini. Tak jarang, Holden terlibat dalam perkelahian yang sebenarnya bisa dihindari.
Menggunakan sudut pandang orang pertama, sang penulis kontroversial, J.D. Salinger, berhasil membuat karakter Holden hidup melalui percakapan dan gerutu Holden. Bagaimana tidak, karakter Holden setidaknya berhasil ‘menyihir’ Mark David Chapman, si pelaku penembak mati John Lennon pada Desember 1980.
Dampak gerutu kasar dan sifat tak pedulinya Holden membuat buku ini berkali-kali dilarang beredar di beberapa sekolah di Amerika Serikat (AS) sejak 1962. Berbagai alasan dilontarkan institusi yang melarang beredarnya buku ini, mulai dari perkataan kasar (F-words), adegan sensual, hingga penyalahgunaan minuman keras oleh anak di bawah umur.
Namun, tidak sedikit juga lembaga pendidikan yang mengakui bahwa The Catcher in the Rye merupakan salah satu literatur penting Amerika sehingga mereka mewajibkan para siswa untuk membaca buku tersebut sebagai tugas sekolah.
Kini giliran pengalaman saya dengan The Catcher in the Rye dan Holden yang akan saya tuangkan dalam postingan ini. Sejak pertama kali dibeli sekitar lima tahun lalu, tepatnya ketika saya akan duduk di bangku SMA, perasaan saya tak pernah berubah terhadap cover buku terbitan Banana Publisher ini.
Seperti tampak pada gambar di atas, “Novel Amarah Anak Muda” merupakan kalimat yang terpampang di selimut buku dan tampilan sesosok anak lelaki (berwajah mengesalkan) dengan ekspresi kesal disertai api membara di atas kepalanya. Namun setelahnya saya berpikir, toh, yang saya butuhkan adalah isinya. Rasa penasaran pun sudah menggerayangi saya, mengalahkan perasaan illfeel saat melihat cover buku.
Bertajuk sama dengan bahasa aslinya (Inggris), The Catcher in the Rye terbitan tahun 2005 ini dicetak dengan bahasa semi-formal. Saya menyebutnya semi-formal karena mengandung beberapa kalimat baku khas novel terjemahan, ditambah beberapa kalimat sumpah serapah tidak sesuai Ejaan Bahasa Indonesia (EBI).
Saat pertama kali membaca buku ini pada 2013 lalu, saya sangat tidak menyukai Holden, anak yang dikeluarkan dari sekolah, suka berbohong demi kesenangan, bahkan berbicara kasar seenaknya hingga dihantam temannya sendiri sampai lebam dan berdarah, and I was like, “Apa-apaan, sih, nih anak.”
Namun saat saya menonton film biografi J.D. Salinger dalam Rebel in the Rye (2015) beberapa hari lalu, saya kembali penasaran dan membaca ulang novel ini dari awal hingga akhir tanpa melewatkan satu kalimat pun. Hasilnya, saya merasa adanya perbedaan perasaan saya terhadap Holden Caulfield dibanding saat pertama kali membaca.
Well, tak bisa dipungkiri memang, terdapat begitu banyak kata kasar terlontar. Saya pun menyadari bahwa meskipun saya baca ratusan kali, setiap kata dalam buku ini tidak akan berubah. Tapi, ada beberapa cara pandang saya yang berubah terhadap Holden. Jika dulu saya menganggap dia mengesalkan, kini saya menyadari bahwa Holden issuch a loving guy (saya menggunakan bahasa Inggris, sebab agak janggal jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia).
Bagaimana dia sebenarnya menyayangi Sally Hayes namun tak dapat mengungkapkannya, dan bagaimana adiknya, Phoebe, bisa begitu menyayangi kakak yang sudah empat kali dikeluarkan dari sekolah ini membuat hati saya sedikit luluh, ditambah lagi dengan serangkaian kalimat lucu nan polos yang dilontarkan Holden, salah satunya adalah pertanyaan tentang “Ke mana para bebek di danau Central Park pergi saat musim dingin?”
Membaca novel ini rasanya seperti mendengarkan Holden menceritakan semua curahan hatinya tanpa harus memberikan banyak komentar —hanya respon dalam bentuk senyum lebar dan tawa akibat celetukan kocaknya. Sampai akhirnya, saya baru menyadari bahwa Holden adalah sesosok remaja dengan mimpi sederhana namun disertai pemikiran kompleks.
Another fact, agak sulit jika Anda tidak tertarik membaca buku namun ingin mengetahui kisah Holden, sebab, Anda tidak akan menemukan film yang menceritakan petualangan Holden sejak dia keluar dari Pencey Prep, membeli topi berburu, hingga menyelinap ke rumahnya sendiri demi bertemu adik kandungnya ini. Sang penulis, J.D. Salinger, tidak mau menjual hak cipta The Catcher in the Rye untuk dijadikan film. Sama seperti pernyataan Holden, “If there’s one thing I hate, it’s the movies.”
Meskipun sang penulis yang telah menghabiskan sisa hidupnya dengan mengasingkan diri di New Hampshire ini sudah tutup usia sejak delapan tahun lalu, namun Holden akan tetap hidup di setiap imajinasi pembaca yang pernah “berkenalan” dengannya. Saya memberi nilai 9/10 atas kesederhanaan, kegamblangan celetukan Holden, dan apresiasi terhadap komitmen yang dipilih J.D. Salinger untuk tidak mempublikasikan (bahkan) satu hasil karya lagi hingga akhir hidupnya.
It’s Turtles All The Way Down (TATWD), another masterpiece of an American writer and video blogger (vlogger), John Green. This story came up with Aza Holmes, the girl who suffers an Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) that lives in the north side on Indianapolis. Aza could never handle herself to pressed her right thumbnail into her middle finger’s pad, and that’s why she always covers her right middle finger with band-aid–and she’s kinda addicted to hand sanitizer too, BTW.
She lives with her Mom who works as a history teacher in her school, White River High School. Her father died of a heart attack while mowing the lawn when she was around eight, his phone and car (Harold) are the last things she had from her Dad.
The story focused on Aza with her Best and Most Fearless Friend, Daisy, looking for a fugitive billionaire, Russel Pickett, who was missing at the night before his raid. Daisy aims the $100,000 reward and she has Aza, who’s kind of had a “thing” with the billonaire’s son, Davis.
Through this novel that released at October 2017, Green lets us drown into Aza’s thought about everything, about how she wants to be a good daughter, a good friend, a good student, or maybe a good detective which eventually leads her to a spiral thoughts that keeps tightening.
The reader is asked to help its narrator evaluate herself often, which as we all know, we’re our worst and best critic. Also, we’re slowly walking into Aza’s life, how she gets on with every mysterious things she had within herself.
The storyline might not only focus on Russell Pickett’s missing, but don’t worry, the ending still worth the read, though. You will find some kinds of relationship through all the characters, like, you’ll find the reason of how an entire estate legacy would be left to a tuatara instead of human.
This review might be subjective because I’ve read all Green’s novels (including the two collaboration novels that he took a part of) and I love every single one of them, but I still have at least one thing to criticize the novel.
It was about Davis’s life at the end of the novel―no spoilers―that ended up disappointing for me. I mean, I think I started to get a crush on him, though. He’s such a soft, calm, lovely, responsible, and sweet character, the way he talks about the stars and constellations make me wonders about them too, he’s really a smart-but-not-a-nerdy type of guy.
At the almost end of story, be ready for the actual meaning of “Turtles All The Way Down”―this is why I told you that the ending is still worth the read. Green has always got surprises for the readers, like how one of the leading characters die of cancer in his previous “The Fault In Our Stars”, or like the ending of Margo’s life in Paper Towns that left my eyes in a little sweet teary (this one is my all-time-favorite-underrated-novel, FYI).
Beside writing novels, John Green also does a video blogging (vlogging) with his brother, Hank, since 2007. At their YouTube channel named “vlogbrothers”, John and Hank separately talk about a lot of random things, from books, films, jokes, a protest to education system, until an explanation of President Trump’s budget.
Speaking of which, John admitted that Aza Holmes is a totally fictional character that came from his thought of how if someone’s in a particular situation like what Aza is facing at the novel, as he explained in his introduction video of TATWD. He confessed that he had an OCD too, where at particular moments he couldn’t have control on a ‘ship’ called Myself (himself).
Over all, I put this 286 paged book on a rate of 9/10 for the simple diction that I enjoyed quite a lot, well I can even see the scenes in my head, though! And the acclaimed, award-winning author of Looking for Alaska and The Fault In Our Stars, John Green, has finally earn another big heart from me.
I’m going to end up this review with a quote said by Aza to give a depiction of how despairing it is to have an OCD, it goes like this:
The thing about spiral is, if you follow it inward, it never actually ends. It just keeps tightening, infinitely. – Aza Holmes