Rebel in the Rye: A Figure Who Brought Holden Caulfield to Life

The first time I read The Catcher in The Rye is when I was 16. It was one of the first novels I’ve read. Not one of my favorite, tbh.

 

So I live in Indonesia and my school didn’t train us to make reading as a habit, it’s a kinda common thing here, then I’d never know about the novel from anywhere at school, until the day where a singer-songwriter, Greyson Chance, mentioned it in one of his tweet.

 

Long story short, the curious nerd younger self of me tried to look for that book, and voila, I got it. Since then, I could never forget the writer’s name (J.D. Salinger) and the fact that this book I read was first published in 1951, including the other fact that the writer has passed away 3 years before I read the book (so sad).

 

In 2018, my YouTube account suggested a movie trailer that seems familiar to me, “Rebel in The Rye”, starred by the actor I know, Nicholas Hoult. I immediately clicked the video and didn’t get disappointed, because I finally got the chance to learn more about the writer!

 

I still don’t really get why am I so curious with the life of a writer, philosopher, or scientist (like Marie Curie for instance). It’s been my own hidden curiosity (the one I’d never tell anyone) since I was in junior school.

 

Let’s get back to the topic. The film was released in 2017, the story line is basically about Jerome David Salinger (Jerry Salinger), a young, not really smart, and sarcastic kid who didn’t want to be a “King of Bacon” as his father wished him to. He wants to be a writer and took a creative writing major in Columbia University.

 

[WARNING!!! This post contains a spoiler, but the film still worth the watch. I didn’t spoil much.]

 

He met a lecturer which soon will be his mentor, Whit Burnett. After that meeting at the café, young Jerry started to learn a lot of things about writing. Not only him, but also the audiences as well, we can also learn to write a story that could bring up some feelings on the readers mind. As the story goes, we can understand how hard it was to publish a book in that age, how Jerry respects his privacy a lot, and more because of the trauma he had when he was a soldier in World War II.

 

As a biography film, we’ll find a lot of Jerry’s life stories, like when he got rejected by the publishers for multiple times, then almost got published right when the war has just started, or when his girlfriend, Oona O’Neil, dumped him by marrying an old man.

 

Whit once said to him,

“Are you willing to devote your life to telling the stories, knowing that you may get nothing in return? And if the answer is no, well, then you should go out there and find yourself something else to do with your life because you are not a true writer,”

which got him thinking about his willing (and mine) to write. It all then finally comes to the point where his novel about a grumpy sarcastic boy, The Catcher in the Rye, was booming and so much more famous than what he imagined this whole time.

 

Jerry felt overwhelmed, he don’t want a fame, all he wants is to write and write and write, so he looked for peacefulness by moving from New York City to live in Cornish, New Hampshire to have a new life and meditate, which he learned from a Buddhist Zen monk. He was married and had two children, but he stayed in a small hut near their house to write, and never published even one of his writings until the end of his life.

Nicholas Hoult as J.D. Salinger in Rebel in the Rye

Despite of the real story of J.D. Salinger, I also want to appreciate how Nicholas Hoult could bring the character alive. I don’t know J.D. Salinger, like how he speaks, think, or gesture, but through Hoult’s acts along the film, I can feel all the nervous and awkwardness when Jerry met Oona, desperation when he was at war, even the struggle moments he had, Hoult expresses it all through his eyes and mimic.

 

And then I was wondering about the 6.6/10 rate from IMDb, I mean, it’s a TOTALLY UNDERRATED MOVIE! Because I’m gonna put 8.5/10 for the story line, cinematography, vibe, and the acts.

 

p.s.: the cover photo credit goes to this website

TH

Journey of Revealing The Truth

 Tristin Hartono (14150098)

(sumber foto: klik pada gambar)

 “The only way to protect the right to publish, is to publish.”

Kalimat tersebut masih menempel di pikiran saya sejak credit title ditayangkan. Ben Bradlee, yang diperankan oleh aktor kawakan, Tom Hanks, dengan jelas mengucapkan pernyataan itu ketika ia bersikeras ingin menerbitkan berita yang dapat mempertaruhkan nasib perusahaan surat kabar The Washington Post.

 

Mengambil latar waktu di tahun 1971, ketika perang Amerika-Vietnam hampir berakhir, film besutan Steven Spielberg ini  lagi-lagi berhasil mencetak 13 prestasi pada 12 ajang penghargaan film di Amerika. Selain Tom Hanks yang sudah menjadi langganan memerankan film arahan Spielberg, kita dapat melihat hadirnya Meryl Streep yang memegang peran sebagai karakter utama, yakni Katharine “Kay” Graham, penerbit The Washington Post.

 

Selain kedua tokoh di atas, saya turut menyadari keberadaan karakter yang mondar-mandir di beberapa film yang saya tonton seperti Steve Jobs (2015), Doctor Strange (2017), Call Me by Your Name (2017) hingga The Shape of Water (2017), yap, Michael Stuhlbarg, si pemeran tokoh Abe Rosenthal, editor eksekutif harian New York Times.

 

Daftar pujian yang terpampang di poster film membuat pendapat saya menjadi agak subjektif, bahkan sebelum menonton film ini. Ditambah lagi janji dosen kelas Media Online yang dengan antusias mengajak kami sekelas untuk menonton bersama di bioskop. Saya yakin bahwa film ini akan menjadi salah satu film yang menggugah antusias saya, ditambah lagi, plot cerita yang menyinggung media massa dan diperankan oleh aktor yang tak diragukan lagi kemampuannya.

 

Gambaran Plot

Konflik dimulai ketika Daniel Ellsberg (Matthew Rhys) mencuri data negara berisi dokumen perang Amerika-Vietnam yang kini disebut “Pentagon Papers”. Harian The Washington Post (selanjutnya disingkat “The Post”) yang saat itu sibuk dengan masalah peliputan pernikahan salah satu putri Presiden Nixon mendapat kabar bahwa harian The New York Times merilis berita yang menyatakan bahwa Nixon dan beberapa presiden sebelumnya memalsukan informasi perang dan mengirim tentara sebanyak mungkin meskipun pada akhirnya Amerika akan mengalami kekalahan dari Vietnam.

 

The Post menjunjung tinggi peran surat kabar yang harus berimbang dalam menyajikan informasi. Oleh karena itu, Ben Bradlee, sebagai editor eksekutif, merasa berkewajiban untuk merilis berita sesuai fakta yang akhirnya mengantarkan cerita pada perselisihan antara dirinya dengan Frederick “Fritz” Beebe (Tracy Letts), chief officer The Post.

 

Fritz yang tidak terlalu peduli tentang fakta yang seharusnya diungkapkan ke khalayak bersikeras menolak publikasi tersebut, sebab ia lebih fokus terhadap kestabilan saham The Post. Pada titik inilah Kay Graham harus memutuskan, antara mempertahankan kelangsungan bisnis surat kabarnya, atau membiarkan fakta tersebar di masyarakat.

 

Gambar yang ditata dengan apik melalui perspektif (dari penggunaan rule of third), pencahayaan, fokus, dan sebagainya membuat para penonton tenggelam dalam imajinasi sang sutradara. Pasalnya, pada 30 menit pertama saja saya sudah memerhatikan adanya gerakan kamera yang halus membingkai suasana lalu mengikuti objek yang dituju.

 

Sebagai orang awam pun, saya merasa puas dengan hasil tangkapan gambar arahan Spielberg. Meskipun bukan hal kecil, namun keramaian yang terlihat natural di kantor The Post entah kenapa sudah cukup membuat saya merasa puas, termasuk segelintir karakter yang merokok di dalam gedung (bahkan lift), demi menggambarkan suasana kantor surat kabar tahun 70an.

 

Menyinggung Feminisme

Kedatangan Kay Graham di American Stock Exchange. (dok. penulis)

Selain cerita yang berfokus pada dilema yang dialami Kay, saya juga menemukan pelanggaran terhadap paham feminisme. Kay Graham, sebagai tokoh perempuan pertama yang masuk dalam “Fortune 500 CEO in 1972”, saat itu belum memiliki pedoman bertingkah laku di tengah para pria pebisnis sehingga ia melakukan sedikit kesalahan saat pertama kali menghadiri American Stock Exchange yang ditandai dengan gerakan pelan moderator menahan bahu Kay saat ia akan berdiri.

Kay Graham menarik tumpukan berkas dari mejanya. (dok. penulis)

Contoh lainnya adalah ketika Kay sarapan dengan Ben, meskipun pangkat Kay lebih tinggi, namun Ben berani menegur Kay yang menaruh tangan di atas meja makan, lalu diikuti dengan adegan rapat Kay dengan para bankir, saat dia merasa canggung ketika menaruh tumpukan berkas di atas meja yang setelah itu diturunkannya dari atas meja, hingga para bankir yang kompak menganggap remeh sistem perekonomian The Post karena perusahaan itu dipimpin oleh seorang wanita, seperti yang diutarakan Arthur Parsons (Bradley Whitford) usai rapat.

 

Banyaknya karakter perempuan dengan kedudukan yang lebih rendah di masyarakat membuat saya mulai mengagumi sosok Kay Graham. Dia bisa menjadi tokoh perempuan yang stand out tidak hanya di antara perempuan lain, tapi juga di tengah pria dengan kedudukan tinggi. Dia pun dengan lapang dada membiarkan ayah kandungnya memberikan warisan bisnis untuk suaminya, Phil Graham, lalu meninggalkan kehidupannya bersama anak-cucu ketika suaminya harus pergi untuk selama-lamanya hingga mendedikasikan diri untuk terus mempertahankan perusahaan keluarganya. I mean, she’s seriously a strong woman, though!

(dok. penulis)

Meski diderai berbagai pujian, namun saya punya kritik tersendiri untuk film yang satu ini. Menurut saya, film ini kurang cocok jika dijadikan tontonan keluarga dengan anak-anak di bawah umur, karena cerita yang disajikan agak berat dan cukup membuat penonton Indonesia yang tidak mengerti istilah atau merk produk Amerika harus memutar otak sedikit lebih keras, misalnya ketika salah satu bankir yang menghadiri rapat membicarakan tentang Gannett’s Knight Ridder, yakni salah satu perusahaan media surat kabar dan internet yang berhenti berfungsi sejak 2006. See, saya pun harus menjelajahi internet terlebih dulu untuk mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan.

(dok. penulis)

Secara keseluruhan, film yang saya beri rating 7.5/10 ini cocok ditujukan bagi penonton yang tertarik dengan film berplot “berat” yang dibumbui sejarah kelamnya Amerika saat dipimpin Richard Nixon, juga sebagai contoh bagaimana hoax sudah ada sejak zaman dulu, serta seberapa besar perjuangan media massa cetak yang menjunjung tinggi kebenaran informasi harus melalui rintangan demi menunjukkan fakta sebenarnya. Presumably, this is a film about the journey of revealing the truth!

TH