Fantastic Beasts: The Charms of Grindelwald

Bukan Grindelwald namanya jika dia dapat dipenjarakan semudah ending di Fantastic Beast and Where to Find Them (2016). Seperti yang terlihat di trailer, Grindelwald dapat berkeliaran seperti tak pernah dipenjarakan sebelumnya. Ya, dia bebas, namun tentunya dengan cara licik.

 

Seri kedua film Fantastic Beasts ini mengisahkan Newt Scamander yang ditugaskan oleh Dumbledore untuk menghentikan rencana Grindelwald mengumpulkan kembali para sekutunya demi mengambil alih kekuasaan terhadap dunia Muggle. Namun tak hanya itu, Grindelwald sekaligus ingin memanfaatkan kekuatan si Obscurial, Credence, untuk melancarkan aksinya.

 

Ibarat menyusun puzzle, J.K. Rowling tak henti-hentinya menyediakan potongan demi potongan cerita seputar wizarding world yang disusun dalam imajinasi para Potter Heads. Bagaimana tidak, ada begitu banyak karakter yang memancing bisikan dalam hati, “Oh ini dia orangnya.” Tak hanya kehadiran tokoh yang tak diduga, seperti Prof. Minerva McGonagall, tapi tentunya segelintir fantastic beasts baru akan memancing rasa gemas para penonton. Selain Nagini, si “Maledictus” dari Indonesia, ada juga Zouwu, si monster unyu dari Tiongkok!

 

Beberapa menit setelah film ditayangkan, mulai terlintas di pikiran, apa sih makna dari “The Crimes of Grindelwald.” No wonder, Grindelwald looks like one of the super villains in wizarding world since his first appearance in Fantastic Beasts and Where to Find Them, agree? Tapi tentunya, si penonton yang tidak membaca bukunya ini masih penasaran, seganas apa sih Grindelwald ini, hmm.

 

Well actually, he is, bahkan di menit-menit awal saja David Yates sudah menyuguhkan scene saat Grindelwald membajak kereta kuda yang akan membawanya ke Nurmengard. Ditambah adegan interaksinya dengan Queenie dan Credence, so tempting! Meskipun subjectively speaking, lawan bicara Grindelwald yang sebenarnya tahu dengan siapa mereka berbicara tetap mudah tergoda oleh kata-katanya, entah karena kondisi emosional atau keraguan besar yang menggumpal dalam hati mereka.

 

Let’s set aside the Grindelwald things, karena ada banyak hal lain yang tak kalah menarik perhatian, misalnya silsilah keluarga Lestrange yang turut menjadi salah satu plot penting, lalu (not a spoiler) diperkenalkannya nama “Aurelius Dumbledore”. If you haven’t watch the film yet, I suggest you not to google that name, it will be full of spoilers. Tidak lupa juga kelanjutan kisah Newt dan Tina yang dihiasi drama kesalahpahaman, tapi jangan khawatir, nggak bikin boring kok!

 

Selain plot cerita yang mengalir tak terduga, efek suara dan gambar yang powerful juga mempercantik film yang mendapat rating IMDb 8.2/10 (update: 7.0/10) ini, apalagi di momen yang bikin merinding saat mantra “Finite” diucapkan oleh beberapa tokoh utama. Ups, spoiler nggak tuh? Haha. Yang tak kalah penting, ada juga beberapa hubungan persaudaraan yang agak alot dan lebih complicated ketimbang cerita romansa. Misalnya, kalian akan tahu alasan Dumbledore nggak mau bertarung dengan Grindelwald.

 

Overall, ada tiga deskripsi yang cukup mewakili sequel kedua dari 5 seri Fantastic Beasts ini, “powerful,” “complicated brotherhood,” dan “lovely.” Sesuai dengan judul ulasan ini, daya tarik (charm) Grindelwald yang terlihat sepertinya menghasilkan plot Fantastic Beasts yang mirip dengan Avengers: Infinity War seri kedua, but with a pale white-haired Thanos. And pssst, this is a spoiler: Durasi filmnya kurang lama!

 

TH

 

(Tulisan ini sudah terbit di website HPNG Films pada 14 November 2018)

Petualangan Gadis Kecil Menyelami Hidup Orang Dewasa

Oleh Tristin Hartono

Scout Finch menceritakan kisah hidupnya ketika ia berumur enam tahun, ketika Dill Harris datang ke kehidupannya dan kakak laki-lakinya, Jem Finch. Dill adalah keponakan Miss Rachel, yang tinggal tidak jauh dari kediaman mereka di Maycomb County. Hidupnya berubah setelah Dill harus kembali ke rumahnya di Meridian.

Scout yang masih anak-anak mulai memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang kehidupan manusia di sekitarnya. Novel ini mengambil setting waktu di tahun 1930-an, ketika perbedaan warna kulit di Amerika masih sangat kentara. Setiap orang berkulit hitam dianggap pantas menerima hukuman gantung meski tanpa proses pengadilan.

Atticus Finch, ayah Scout dan Jem yang bekerja sebagai seorang pengacara saat itu dengan berani memilih untuk membela seorang kulit hitam yang juga budak bernama Tom Robinson dalam sebuah pengadilan dengan kasus pemerkosaan terhadap wanita berkulit putih.

Scout yang dengan polosnya selalu menanyakan hal yang ingin diketahuinya tidak setuju dengan hasil pengadilan yang masih menyatakan Tom Robinson sebagai orang bersalah. Namun apa yang bisa dilakukan seorang anak perempuan berumur tujuh tahun terhadap keputusan pengadilan yang didominasi oleh orang kulit putih?

Dalam kutipan “Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya … hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya,” Harper Lee mengajak pembaca melihat kehidupan orang dewasa yang selalu berprasangka antara satu sama lain melalui sudut pandang Scout.

To Kill A Mockingbird sempat memenangkan piala Pulitzer di tahun 1961. Novel yang mengguncang khazanah sastra dunia ini sudah terjual hingga 40 juta kopi di seluruh dunia, dan menurut Library Journal, To Kill A Mockingbird adalah “Novel Terbaik Abad Ke-20”.

Setelah sukses dengan To Kill A Mockingbird, Harper Lee kembali menerbitkan karyanya yang hilang selama 60 tahun, Go Set A Watchman, novel yang menginspirasi lahirnya mahakarya To Kill A Mockingbird yang mengantarkannya pada penganugerahan Presidential Medal of Freedom 2007, The Highest Civilian Honor USA.

 

Judul buku: To Kill A Mockingbird

Pengarang: Harper Lee

Penerbit: Qanita

Cetakan: 1, September 2015

Tebal buku: 396 halaman

 

(Tulisan ini telah diterbitkan di rubrik “Resensi” Majalah What’s Up! volume 7 no. 2 Agustus 2017)

Sumber gambar: Carousell