“Kalau aku potong rambut, aku pengin potong rambut for a good cause.”
Tidak secanggung itu, tapi kurang lebih seperti inilah kalimat yang terucap saat saya dan Mama mengobrol di teras loteng rumah malam itu. Kalimat ini akhirnya menjadi sebuah rencana yang dijalankan beberapa minggu hingga bulan setelahnya.
Sejak akhir Maret 2020, kantor saya mulai memberlakukan Work From Home (WFH) dengan sistem bergantian. Lalu escalated pretty quick hingga menjadi full WFH pada pertengahan April hingga saat ini (November 2020). Ya, selama itulah saya tidak ke kantor, kecuali untuk beberapa “keperluan penting” (baca: saat bosan di rumah), yang tentunya dilakukan di masa PSBB transisi. Selama di rumah, saya membiarkan rambut yang sudah cukup panjang ini semakin bertumbuh.
Tujuh bulan berturut-turut saya tidak memedulikan seberapa panjang rambut ini nantinya. Mengingat saya sudah tak keluar rumah hampir sama sekali, saya mulai mengurangi jatah keramas. Ya, tentu saja, kalau sekali keramas bisa memakan waktu 1 hingga 1,5 jam dan rambut saya tidak cepat kotor pula, untuk apa saya sering keramas? Toh selain rambut cepat kering, sampo dan kondisioner akan lebih cepat habis, plus boros air, hehehe.
Tapi percayalah, sama seperti beberapa dari kalian, saya juga sempat menonton video tutorial potong rambut panjang ber-layer. Terlihat mudah dan hasilnya memang cantik. But well, you know the truth, praktiknya tidak akan semudah itu. Untuk mengepang rambut sendiri saja saya sering menyerah karena pegal dan tidak rapi, apalagi untuk potong rambut!
Akhirnya, saya sering merasa rambut ini sangat panjang setiap selesai keramas. Meskipun, rambut hitam, lebat, dan panjang sudah menjadi identitas saya sejak kecil dan saya memang suka dengan gaya ini. Katanya, orang akan terlihat lebih kurus kalau rambutnya panjang, entahlah. Tapi yang saya tau, saya akan merasa lebih insecure jika mempunyai rambut pendek, karena saya takut rambut ini akan terlihat mekar seperti singa.
Namun akhirnya percakapan itu terjadi, plus teman saya low key menantang saya untuk memotong rambut hingga pendek. Sekitar pertengahan Oktober, saya mulai googling soal donasi rambut. Believe it or not, saya bahkan membaca artikel WikiHow tentang cara mendonasikan rambut. Iya, ada tuh artikelnya, hasil terjemahan pula!
The Planning
Di akhir Oktober, saya mendapat jatah libur 5 hari berturut-turut, how lovely! Saya pikir, inilah waktunya untuk melakukan berbagai kegiatan yang selama ini tidak saya lakukan, misalnya menyulam. Yap, kegiatan random ini muncul awal Oktober lalu, akibat terlalu bosan di rumah.
Selain menyulam, saya juga akhirnya menemukan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) untuk menjadi penerima “mahkota” ini. Di waktu senggang, saya mengambil waktu sejenak untuk meyakinkan diri sendiri, membulatkan tekad untuk memotong rambut dan mendonasikan rambut ini.
“Minimal 25 cm,” persyaratannya, “Rambut sehat dan tidak dicat, dalam kondisi bersih dan kering, serta diikat menjadi dua ekor kuda. Guntingan rambut dimasukkan ke dalam zip lock dan dikirim ke Yayasan Kanker Indonesia, Jalan Dr. GSSJ Ratulangi no. 35, RT.2/RW.3, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.” Namun, saat ini sepertinya donasi rambut sedang ditutup.
Wah, 25 cm, pikir saya. Lalu saya meminta Mama untuk mengukur panjang rambut dan ternyata sudah lebih dari 30 cm dari ujung rambut hingga ke bawah bahu. Namun, saya memutuskan untuk memotong rambut hingga di atas bahu, just to challenge myself. Akhirnya, saya memutuskan untuk memotong rambut di hari terakhir liburan, yakni 1 November, hari pertama bulan lahir saya.
Alasannya simpel, saya hanya ingin pemotongan rambut ini menjadi ‘hadiah’ from me to me untuk ulang tahun saya tahun ini. Sejak beberapa tahun lalu, sudah menjadi kebiasaan saya untuk menghadiahi diri sendiri, karena saya tidak ingin terlalu menggantungkan kebahagiaan saya sendiri pada orang lain. Lagipula, you shouldn’t depend your happiness on someone else, right?
The Gift’s Prep
Hari yang dinantikan pun tiba. Sejujurnya, saya tak lagi merasa sedih karena harus kehilangan rambut panjang ini, mengingat banyak orang yang terpaksa kehilangan rambut not under their concern. Saya malah merasa antusias jika bisa berbagi kebahagiaan melalui apa yang saya miliki. Bersama Mama, kami mengunjungi salon yang memotong rambut saya pertama kali saat kecil, Salon Bang Andi.
“Nih potong segini aja, Bang Andi,” ujar Mama.
“Iya gapapa pendekin aja, Om. Ntar modelnya kayak gini, ya,” ucap saya sembari menyodorkan hasil potongan rambut pendek untuk rambut tebal yang sudah saya cari sejak awal liburan.
Lalu Bang Andi was like “Oh okay, let’s do it.”
*kress* *kress* *kress*
Tanpa basa basi, seikat rambut sebelah kiri saya sudah terpotong dan segera disusul oleh seikat rambut sebelah kanan. “Nih dia rambutnya,” Mama menyodorkan dua ikat rambut saya. Tapi, entah kenapa saya merasa geli saat memegang rambut itu setelah dipotong, it feels strange to hold your long hair hanging apart from your head, you know.
Usai digunting rapi, keramas hingga dikeringkan, ternyata saya menyukai gaya rambut baru ini. It fits me well, meskipun saya merasa cukup insecure karena saya bisa merasakan angin mengembus leher belakang saya dan tidak ada rambut yang menghalanginya lagi. Tidak sedih, hanya perlu waktu untuk adaptasi.
Beberapa hari berlalu hingga akhirnya saya berkesempatan untuk memotret rambut setelah dipotong, usai membuat dokumentasi sebelum memotong rambut beberapa minggu lalu. Tak lupa, saya juga foto bersama rambut yang sudah dipotong. What do you think?
Final Touch: Putting a Ribbon
Berbagai hal saya alami selama adaptasi rambut baru, seperti sulitnya mengikat rambut saat hendak mandi, rambut yang terasa ringan saat tertiup angin, terasa lebih lepek meski hanya belum keramas selama beberapa hari, bahkan saya terkadang menggeleng-gelengkan kepala di depan cermin, di mobil, atau saat bekerja (di rumah) karena rambut ini terasa menggemaskan bagi saya. Plus, saya suka rambut yang terlihat bagus meski effortless ini.
Akhirnya, rambut saya memang terlihat agak lebar karena tebal dan terlihat seperti singa, tapi bukan dalam konteks negatif seperti yang saya takutkan. Saya senang karena I can finally give this crown to another princes/princesses. Pun, saya merasa lebih percaya diri karena ‘singa’ ini akhirnya brave enough to show her true self. Well, meskipun secara teknis singa betina tidak memiliki rambut lebar, but you know, it’s obviously a metaphor!
Kalau kata Novo Amor, “Now I feel like I’m finally me!“