Menangkap Makna dalam The Catcher in The Rye

Julukan “The Coward Sarcastic” atau “Si Sarkastik yang Penakut” saya rasa dapat menggambarkan karakter utama dalam novel ini. Holden Caufield namanya, seorang remaja 16 tahun yang sudah bosan dengan kehidupannya di sekolah asrama khusus laki-laki daerah Agerstown, Pennsylvania, yaitu Pencey Prep.

 

Cerita ini mengisahkan seorang anak lelaki dalam mencari jati dirinya. Pandangan skeptisnya terhadap kemunafikan orang-orang di sekitarnya membuat dia muak dengan segala yang dialaminya selama ini. Tak jarang, Holden terlibat dalam perkelahian yang sebenarnya bisa dihindari.

 

Menggunakan sudut pandang orang pertama, sang penulis kontroversial, J.D. Salinger, berhasil membuat karakter Holden hidup melalui percakapan dan gerutu Holden. Bagaimana tidak, karakter Holden setidaknya berhasil ‘menyihir’ Mark David Chapman, si pelaku penembak mati John Lennon pada Desember 1980.

 

Dampak gerutu kasar dan sifat tak pedulinya Holden membuat buku ini berkali-kali dilarang beredar di beberapa sekolah di Amerika Serikat (AS) sejak 1962. Berbagai alasan dilontarkan institusi yang melarang beredarnya buku ini, mulai dari perkataan kasar (F-words), adegan sensual, hingga penyalahgunaan minuman keras oleh anak di bawah umur.

 

Namun, tidak sedikit juga lembaga pendidikan yang mengakui bahwa The Catcher in the Rye merupakan salah satu literatur penting Amerika sehingga mereka mewajibkan para siswa untuk membaca buku tersebut sebagai tugas sekolah.

 

Kini giliran pengalaman saya dengan The Catcher in the Rye dan Holden yang akan saya tuangkan dalam postingan ini. Sejak pertama kali dibeli sekitar lima tahun lalu, tepatnya ketika saya akan duduk di bangku SMA, perasaan saya tak pernah berubah terhadap cover buku terbitan Banana Publisher ini.

 

The Catcher in the Rye (Banana Publisher 2005) (P.s.: I took the photo myself)

Seperti tampak pada gambar di atas, “Novel Amarah Anak Muda” merupakan kalimat yang terpampang di selimut buku dan tampilan sesosok anak lelaki (berwajah mengesalkan) dengan ekspresi kesal disertai api membara di atas kepalanya. Namun setelahnya saya berpikir, toh, yang saya butuhkan adalah isinya. Rasa penasaran pun sudah menggerayangi saya, mengalahkan perasaan illfeel saat melihat cover buku.

 

Bertajuk sama dengan bahasa aslinya (Inggris), The Catcher in the Rye terbitan tahun 2005 ini dicetak dengan bahasa semi-formal. Saya menyebutnya semi-formal karena mengandung beberapa kalimat baku khas novel terjemahan, ditambah beberapa kalimat sumpah serapah tidak sesuai Ejaan Bahasa Indonesia (EBI).

 

Saat pertama kali membaca buku ini pada 2013 lalu, saya sangat tidak menyukai Holden, anak yang dikeluarkan dari sekolah, suka berbohong demi kesenangan, bahkan berbicara kasar seenaknya hingga dihantam temannya sendiri sampai lebam dan berdarah, and I was like, “Apa-apaan, sih, nih anak.

 

Namun saat saya menonton film biografi J.D. Salinger dalam Rebel in the Rye (2015) beberapa hari lalu, saya kembali penasaran dan membaca ulang novel ini dari awal hingga akhir tanpa melewatkan satu kalimat pun. Hasilnya, saya merasa adanya perbedaan perasaan saya terhadap Holden Caulfield dibanding saat pertama kali membaca.

 

Well, tak bisa dipungkiri memang, terdapat begitu banyak kata kasar terlontar. Saya pun menyadari bahwa meskipun saya baca ratusan kali, setiap kata dalam buku ini tidak akan berubah. Tapi, ada beberapa cara pandang saya yang berubah terhadap Holden. Jika dulu saya menganggap dia mengesalkan, kini saya menyadari bahwa Holden is such a loving guy (saya menggunakan bahasa Inggris, sebab agak janggal jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia).

 

Bagaimana dia sebenarnya menyayangi Sally Hayes namun tak dapat mengungkapkannya, dan bagaimana adiknya, Phoebe, bisa begitu menyayangi kakak yang sudah empat kali dikeluarkan dari sekolah ini membuat hati saya sedikit luluh, ditambah lagi dengan serangkaian kalimat lucu nan polos yang dilontarkan Holden, salah satunya adalah pertanyaan tentang “Ke mana para bebek di danau Central Park pergi saat musim dingin?”

 

Membaca novel ini rasanya seperti mendengarkan Holden menceritakan semua curahan hatinya tanpa harus memberikan banyak komentar —hanya respon dalam bentuk senyum lebar dan tawa akibat celetukan kocaknya. Sampai akhirnya, saya baru menyadari bahwa Holden adalah sesosok remaja dengan mimpi sederhana namun disertai pemikiran kompleks.

 

Another fact, agak sulit jika Anda tidak tertarik membaca buku namun ingin mengetahui kisah Holden, sebab, Anda tidak akan menemukan film yang menceritakan petualangan Holden sejak dia keluar dari Pencey Prep, membeli topi berburu, hingga menyelinap ke rumahnya sendiri demi bertemu adik kandungnya ini. Sang penulis, J.D. Salinger, tidak mau menjual hak cipta The Catcher in the Rye untuk dijadikan film. Sama seperti pernyataan Holden, “If there’s one thing I hate, it’s the movies.

 

Meskipun sang penulis yang telah menghabiskan sisa hidupnya dengan mengasingkan diri di New Hampshire ini sudah tutup usia sejak delapan tahun lalu, namun Holden akan tetap hidup di setiap imajinasi pembaca yang pernah “berkenalan” dengannya. Saya memberi nilai 9/10 atas kesederhanaan, kegamblangan celetukan Holden, dan apresiasi terhadap komitmen yang dipilih J.D. Salinger untuk tidak mempublikasikan (bahkan) satu hasil karya lagi hingga akhir hidupnya.

TH

Rebel in the Rye: A Figure Who Brought Holden Caulfield to Life

The first time I read The Catcher in The Rye is when I was 16. It was one of the first novels I’ve read. Not one of my favorite, tbh.

 

So I live in Indonesia and my school didn’t train us to make reading as a habit, it’s a kinda common thing here, then I’d never know about the novel from anywhere at school, until the day where a singer-songwriter, Greyson Chance, mentioned it in one of his tweet.

 

Long story short, the curious nerd younger self of me tried to look for that book, and voila, I got it. Since then, I could never forget the writer’s name (J.D. Salinger) and the fact that this book I read was first published in 1951, including the other fact that the writer has passed away 3 years before I read the book (so sad).

 

In 2018, my YouTube account suggested a movie trailer that seems familiar to me, “Rebel in The Rye”, starred by the actor I know, Nicholas Hoult. I immediately clicked the video and didn’t get disappointed, because I finally got the chance to learn more about the writer!

 

I still don’t really get why am I so curious with the life of a writer, philosopher, or scientist (like Marie Curie for instance). It’s been my own hidden curiosity (the one I’d never tell anyone) since I was in junior school.

 

Let’s get back to the topic. The film was released in 2017, the story line is basically about Jerome David Salinger (Jerry Salinger), a young, not really smart, and sarcastic kid who didn’t want to be a “King of Bacon” as his father wished him to. He wants to be a writer and took a creative writing major in Columbia University.

 

[WARNING!!! This post contains a spoiler, but the film still worth the watch. I didn’t spoil much.]

 

He met a lecturer which soon will be his mentor, Whit Burnett. After that meeting at the café, young Jerry started to learn a lot of things about writing. Not only him, but also the audiences as well, we can also learn to write a story that could bring up some feelings on the readers mind. As the story goes, we can understand how hard it was to publish a book in that age, how Jerry respects his privacy a lot, and more because of the trauma he had when he was a soldier in World War II.

 

As a biography film, we’ll find a lot of Jerry’s life stories, like when he got rejected by the publishers for multiple times, then almost got published right when the war has just started, or when his girlfriend, Oona O’Neil, dumped him by marrying an old man.

 

Whit once said to him,

“Are you willing to devote your life to telling the stories, knowing that you may get nothing in return? And if the answer is no, well, then you should go out there and find yourself something else to do with your life because you are not a true writer,”

which got him thinking about his willing (and mine) to write. It all then finally comes to the point where his novel about a grumpy sarcastic boy, The Catcher in the Rye, was booming and so much more famous than what he imagined this whole time.

 

Jerry felt overwhelmed, he don’t want a fame, all he wants is to write and write and write, so he looked for peacefulness by moving from New York City to live in Cornish, New Hampshire to have a new life and meditate, which he learned from a Buddhist Zen monk. He was married and had two children, but he stayed in a small hut near their house to write, and never published even one of his writings until the end of his life.

Nicholas Hoult as J.D. Salinger in Rebel in the Rye

Despite of the real story of J.D. Salinger, I also want to appreciate how Nicholas Hoult could bring the character alive. I don’t know J.D. Salinger, like how he speaks, think, or gesture, but through Hoult’s acts along the film, I can feel all the nervous and awkwardness when Jerry met Oona, desperation when he was at war, even the struggle moments he had, Hoult expresses it all through his eyes and mimic.

 

And then I was wondering about the 6.6/10 rate from IMDb, I mean, it’s a TOTALLY UNDERRATED MOVIE! Because I’m gonna put 8.5/10 for the story line, cinematography, vibe, and the acts.

 

p.s.: the cover photo credit goes to this website

TH