[Bagian 1-nya ada di sini]
Setelah melewati Tugu Titik Nol Kilometer Bandung, muncul pertanyaan “Mau ke mana lagi nih kita?” dari Stella. Saya yang agak bingung untuk memutuskan akhirnya mengajak Stella untuk bersama-sama mencari tempat tujuan lain hingga Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) menjadi tujuan selanjutnya. Pintu masuk yang kecil membuat kami agak ragu untuk masuk, karena masih ada pintu lain mengarah ke Gedung Merdeka yang tertutup rapat oleh pagar besi.
Namun, papan pengumuman yang menyatakan bahwa hari itu Museum KAA buka meyakinkan kami untuk masuk dan mendorong pintu. “Tok tok,” celetuk saya, yang disambut oleh penjaga pintu museum dengan senyuman. Ternyata pengunjung tidak perlu membayar sepeser pun untuk menikmati museum yang menerima penghargaan sebagai Museum Paling Menyenangkan tahun 2015 ini.
Beragam hasil dokumentasi Konferensi Asia Afrika yang dihelat pada 1955 lalu membuat saya terkagum dengan pencapaian yang pernah dilakukan Bung Karno dan Bung Hatta saat mereka masih menjabat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Bagaimana tidak, PM Indonesia, Ali Sastroamidjojo, berhasil mengumpulkan perwakilan dari 29 negara untuk bertemu di Bandung demi mendiskusikan perdamaian dunia.
Namun, saya masih agak menyayangkan perilaku pengunjung yang tidak dapat menghormati museum ini. Ketika saya berkunjung, segerombolan anak remaja 13-16 tahun berjumlah 8-10 orang memainkan layar sentuh yang mungkin berisi video pendek rapat KAA, lalu mereka duduk di salah satu kursi aula KAA sembari menaikkan kaki ke senderan kursi di depannya. Kasus lain, tombol untuk memutar pidato pembukaan KAA oleh Bung Karno tidak dapat dimainkan, sayang sekali.
Sepulang dari Jalan Braga, Lapangan Gasibu di Jalan Diponegoro adalah tujuan kami selanjutnya. Saat sampai di sana, Stella menjelaskan bahwa dosennya merupakan salah satu desainer lapangan ini. Kunjungan ke Lapangan Gasibu terasa seperti tur bagi saya, karena Stella menjelaskan cukup banyak hal mengenai konstruksi lapangan seluas kurang lebih 6000 m2 tersebut.
Kami menghabiskan cukup banyak waktu untuk memilih destinasi selanjutnya hingga waktu menunjukkan saatnya makan malam, di mana Warung Kopi Purnama yang terletak di Jalan Alkateri, Braga menjadi pilihan. Tempat ini menjadi salah satu rekomendasi tempat makan di Bandung, tidak heran, selain sejarah yang dimiliki, Nasi Goreng Purnama yang dibanderol dengan harga Rp30 ribu pun mampu memanjakan lidah. Di sinilah “deep talk” kembali dimulai, bahkan setelah Warung Kopi Purnama tutup, percakapan kami masih berlanjut.
Ditemani Stefan, kami bertolak ke Warkop Gemboel Mini (Gemini) yang terkenal sebagai “Warkop yang tidak akan pernah tutup kecuali kiamat” hingga waktu menunjukkan hampir pukul 12 malam dan kami harus kembali ke indekos Stella.
Sesampainya di indekos, kami yang sudah berjanji untuk menonton film bersama tetap melaksanakan perjanjian tersebut. Setelah memilih beberapa film, Forrest Gump menjadi pilihan, well, I’ll never regret that choice, karena saya kerap mengingatkan diri sendiri bahwa film tersebut diproduksi di tahun 1994 akibat plot dan pengambilan gambar, serta akting Tom Hanks yang terlihat sangat mengesankan (9/10 dari saya).
Di hari terakhir perjalanan ini, saya, Stella, dan Stefan akan kembali ke Jakarta menaiki kereta tujuan Gambir pukul tujuh malam nanti. Kami mengawali hari ini dengan menyantap daging sapi di Se’i Sapi Lamalera yang terletak di kawasan Lebakgede, Coblong, dengan harga terjangkau, misalnya se’i sapi sambal matah yang saya pesan ini hanya dibanderol Rp25 ribu saja! Setelah itu, saya mengajak mereka untuk menonton Deadpool di Ciwalk (akhirnya dapat tiket nonton dari kota lain selain Jakarta!).
Waktu kurang lebih menunjukkan pukul setengah lima sore ketika saya dan Stella sampai di indekos. Kami berkemas lalu kembali bertemu dengan Stefan yang sudah menunggu di ujung gang. Saat kami sampai di stasiun, ternyata masih ada waktu untuk santap malam yang akhirnya kami gunakan untuk menyantap sajian dari Hokben.
Kereta meluncur sekitar pukul 7:30, melesat melampaui ruang dan waktu hingga menyisakan Bandung dalam ingatan kami, saya hanya dapat menyatakan dalam ingatan bahwa Jalan Ir. H. Djuanda yang dihiasi tiang lampu hijau gelap dan bunga (kembang) merah baru saja menjadi jalanan favorit saya di Bandung.
Meski hanya tiga hari, namun waktu yang telah kami jalani tak akan bisa diambil kembali, lalu saya teringat ujaran Pidi Baiq yang dipajang di terowongan Jalan Asia Afrika, “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.”
TH