Bertualang di Kota Kembang [Bagian 2]

[Bagian 1-nya ada di sini]

 

Setelah melewati Tugu Titik Nol Kilometer Bandung, muncul pertanyaan “Mau ke mana lagi nih kita?” dari Stella. Saya yang agak bingung untuk memutuskan akhirnya mengajak Stella untuk bersama-sama mencari tempat tujuan lain hingga Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) menjadi tujuan selanjutnya. Pintu masuk yang kecil membuat kami agak ragu untuk masuk, karena masih ada pintu lain mengarah ke Gedung Merdeka yang tertutup rapat oleh pagar besi.

 

Namun, papan pengumuman yang menyatakan bahwa hari itu Museum KAA buka meyakinkan kami untuk masuk dan mendorong pintu. “Tok tok,” celetuk saya, yang disambut oleh penjaga pintu museum dengan senyuman. Ternyata pengunjung tidak perlu membayar sepeser pun untuk menikmati museum yang menerima penghargaan sebagai Museum Paling Menyenangkan tahun 2015 ini.

 

Beragam hasil dokumentasi Konferensi Asia Afrika yang dihelat pada 1955 lalu membuat saya terkagum dengan pencapaian yang pernah dilakukan Bung Karno dan Bung Hatta saat mereka masih menjabat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Bagaimana tidak, PM Indonesia, Ali Sastroamidjojo, berhasil mengumpulkan perwakilan dari 29 negara untuk bertemu di Bandung demi mendiskusikan perdamaian dunia.

 

Namun, saya masih agak menyayangkan perilaku pengunjung yang tidak dapat menghormati museum ini. Ketika saya berkunjung, segerombolan anak remaja 13-16 tahun berjumlah 8-10 orang memainkan layar sentuh yang mungkin berisi video pendek rapat KAA, lalu mereka duduk di salah satu kursi aula KAA sembari menaikkan kaki ke senderan kursi di depannya. Kasus lain, tombol untuk memutar pidato pembukaan KAA oleh Bung Karno tidak dapat dimainkan, sayang sekali.

 

Sepulang dari Jalan Braga, Lapangan Gasibu di Jalan Diponegoro adalah tujuan kami selanjutnya. Saat sampai di sana, Stella menjelaskan bahwa dosennya merupakan salah satu desainer lapangan ini. Kunjungan ke Lapangan Gasibu terasa seperti tur bagi saya, karena Stella menjelaskan cukup banyak hal mengenai konstruksi lapangan seluas kurang lebih 6000 m2 tersebut.

Lapangan Gasibu dan Gedung Sate di kejauhan.

 

Kami menghabiskan cukup banyak waktu untuk memilih destinasi selanjutnya hingga waktu menunjukkan saatnya makan malam, di mana Warung Kopi Purnama yang terletak di Jalan Alkateri, Braga menjadi pilihan. Tempat ini menjadi salah satu rekomendasi tempat makan di Bandung, tidak heran, selain sejarah yang dimiliki, Nasi Goreng Purnama yang dibanderol dengan harga Rp30 ribu pun mampu memanjakan lidah. Di sinilah “deep talk” kembali dimulai, bahkan setelah Warung Kopi Purnama tutup, percakapan kami masih berlanjut.

 

Ditemani Stefan, kami bertolak ke Warkop Gemboel Mini (Gemini) yang terkenal sebagai “Warkop yang tidak akan pernah tutup kecuali kiamat” hingga waktu menunjukkan hampir pukul 12 malam dan kami harus kembali ke indekos Stella.

 

Sesampainya di indekos, kami yang sudah berjanji untuk menonton film bersama tetap melaksanakan perjanjian tersebut. Setelah memilih beberapa film, Forrest Gump menjadi pilihan, well, I’ll never regret that choice, karena saya kerap mengingatkan diri sendiri bahwa film tersebut diproduksi di tahun 1994 akibat plot dan pengambilan gambar, serta akting Tom Hanks yang terlihat sangat mengesankan (9/10 dari saya).

 

Di hari terakhir perjalanan ini, saya, Stella, dan Stefan akan kembali ke Jakarta menaiki kereta tujuan Gambir pukul tujuh malam nanti. Kami mengawali hari ini dengan menyantap daging sapi di Se’i Sapi Lamalera yang terletak di kawasan Lebakgede, Coblong, dengan harga terjangkau, misalnya se’i sapi sambal matah yang saya pesan ini hanya dibanderol Rp25 ribu saja! Setelah itu, saya mengajak mereka untuk menonton Deadpool di Ciwalk (akhirnya dapat tiket nonton dari kota lain selain Jakarta!).

Se’i Sapi Sambal Matah, Yum!

 

Waktu kurang lebih menunjukkan pukul setengah lima sore ketika saya dan Stella sampai di indekos. Kami berkemas lalu kembali bertemu dengan Stefan yang sudah menunggu di ujung gang. Saat kami sampai di stasiun, ternyata masih ada waktu untuk santap malam yang akhirnya kami gunakan untuk menyantap sajian dari Hokben.

 

Kereta meluncur sekitar pukul 7:30, melesat melampaui ruang dan waktu hingga menyisakan Bandung dalam ingatan kami, saya hanya dapat menyatakan dalam ingatan bahwa Jalan Ir. H. Djuanda yang dihiasi tiang lampu hijau gelap dan bunga (kembang) merah baru saja menjadi jalanan favorit saya di Bandung.

 

Meski hanya tiga hari, namun waktu yang telah kami jalani tak akan bisa diambil kembali, lalu saya teringat ujaran Pidi Baiq yang dipajang di terowongan Jalan Asia Afrika, “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.

sumber foto: klik pada gambar

 

TH

Bertualang di Kota Kembang [Bagian 1]

Sugar glider bernama Bubble itu sedang tidur ketika saya datang. “Oh ini Stel yang nanti mau lo titipin ke gue?, “Iya, Tin,” ujar Stella, yang hingga saat ini merupakan satu-satunya teman bertualang dan orang yang saya percayai untuk diajak “deep talking”.

 

Demi menempuh pendidikan arsitekturnya, Stella tinggal di Bandung sejak 3 tahun lalu. Ini adalah kesempatan pertama saya untuk benar-benar mengunjunginya, selain sebagai momen refreshing setelah menghadapi UAS, namun juga untuk menjalankan salah satu kebiasaan yang sudah kami lakukan sejak dulu, bepergian bersama.

 

Hari pertama dihabiskan dengan menonton salah satu episode dari serial Inggris bertajuk Black Mirror, lalu pada malam harinya, kami menghabiskan waktu menyantap daging non halal di Sudirman Street bersama dengan dua teman Stella, yakni Stefan dan Hafiz.

 

Esok harinya, kami memulai aktivitas dengan menghadiri perayaan Misa (Katolik) di Gereja St. Laurentius di kawasan Gegerkalong, Sukasari. Ibadah yang khusyuk dan tenang ini menghiasi pengalaman pertama saya menghadiri Misa hingga saya terheran, manusia macam apa yang tega meledakkan bom di tengah ibadah seperti ini.

 

Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi area pejalan kaki yang cukup terkenal di Bandung, Braga Citywalk atau Jalan Braga. Sebelum memulai kegiatan berjalan secara harfiah ini, kami menyiapkan amunisi berupa Ayam Asap Sambal Matah dari Warung de Harmony dan Es Kopi Awan dari Kopi Toko Djawa, serta seperangkat alat foto seadanya, yakni dua iPhone dan satu Xiaomi Note 4X.

Ayam Asap Sambal Matah dari Warung de Harmony, yum!

 

Pedagang lukisan berjejer di sepanjang Jalan Braga, menjajakan hasil karya visual dengan model gambar yang saling menyerupai, yakni pemandangan laut, sawah, gunung, atau hewan dan tumbuhan seperti ikan dan bunga. Di sanalah kami turut melukis kenangan dengan memotret hampir setiap hal yang tampak, didukung dengan tinta alami, yaitu cahaya matahari.

 

Gedung Kantor Cabang Pusat Bank BJB di Jalan Braga

Di sela-sela tur pendek ini, Stella berujar, “Model gedung ini (Kantor Pusat Bank BJB) namanya Art Deco, karena ada tembok tebal buat pemisah antarlantainya. Nanti di depan sana ada hotel namanya Savoy Homann, di situ ada menara yang mirip kayak gedung ini. Dulu, tempat itu dipake orang-orang Belanda buat mata-matain musuh, kalo ada orang Indonesia yang mau nyerang, bisa langsung ditembak dari sana,” lalu saya merasa agak ngeri namun kagum membayangkan strategi mereka.

 

(Lanjut ke Bagian 2)

Turtles On Turtles On Turtles

Tristin Hartono (14150098)

It’s Turtles All The Way Down (TATWD), another masterpiece of an American writer and video blogger (vlogger), John Green. This story came up with Aza Holmes, the girl who suffers an Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) that lives in the north side on Indianapolis. Aza could never handle herself to pressed her right thumbnail into her middle finger’s pad, and that’s why she always covers her right middle finger with band-aid–and she’s kinda addicted to hand sanitizer too, BTW.

 

She lives with her Mom who works as a history teacher in her school, White River High School. Her father died of a heart attack while mowing the lawn when she was around eight, his phone and car (Harold) are the last things she had from her Dad.

 

The story focused on Aza with her Best and Most Fearless Friend, Daisy, looking for a fugitive billionaire, Russel Pickett, who was missing at the night before his raid. Daisy aims the $100,000 reward and she has Aza, who’s kind of had a “thing” with the billonaire’s son, Davis.

 

Through this novel that released at October 2017, Green lets us drown into Aza’s thought about everything, about how she wants to be a good daughter, a good friend, a good student, or maybe a good detective which eventually leads her to a spiral thoughts that keeps tightening.

 

The reader is asked to help its narrator evaluate herself often, which as we all know, we’re our worst and best critic. Also, we’re slowly walking into Aza’s life, how she gets on with every mysterious things she had within herself.

 

The storyline might not only focus on Russell Pickett’s missing, but don’t worry, the ending still worth the read, though. You will find some kinds of relationship through all the characters, like, you’ll find the reason of how an entire estate legacy would be left to a tuatara instead of human.

 

This review might be subjective because I’ve read all Green’s novels (including the two collaboration novels that he took a part of) and I love every single one of them, but I still have at least one thing to criticize the novel.

 

It was about Davis’s life at the end of the novel―no spoilers―that ended up disappointing for me. I mean, I think I started to get a crush on him, though. He’s such a soft, calm, lovely, responsible, and sweet character, the way he talks about the stars and constellations make me wonders about them too, he’s really a smart-but-not-a-nerdy type of guy.

 

At the almost end of story, be ready for the actual meaning of “Turtles All The Way Down”―this is why I told you that the ending is still worth the read. Green has always got surprises for the readers, like how one of the leading characters die of cancer in his previous “The Fault In Our Stars”, or like the ending of Margo’s life in Paper Towns that left my eyes in a little sweet teary (this one is my all-time-favorite-underrated-novel, FYI).

 

Beside writing novels, John Green also does a video blogging (vlogging) with his brother, Hank, since 2007. At their YouTube channel named “vlogbrothers”, John and Hank separately talk about a lot of random things, from books, films, jokes, a protest to education system, until an explanation of President Trump’s budget.

 

Speaking of which, John admitted that Aza Holmes is a totally fictional character that came from his thought of how if someone’s in a particular situation like what Aza is facing at the novel, as he explained in his introduction video of TATWD. He confessed that he had an OCD too, where at particular moments he couldn’t have control on a ‘ship’ called Myself (himself).

(the photo was taken by me)

Over all, I put this 286 paged book on a rate of 9/10 for the simple diction that I enjoyed quite a lot, well I can even see the scenes in my head, though! And the acclaimed, award-winning author of Looking for Alaska and The Fault In Our Stars, John Green, has finally earn another big heart from me.

 

I’m going to end up this review with a quote said by Aza to give a depiction of how despairing it is to have an OCD, it goes like this:

The thing about spiral is, if you follow it inward, it never actually ends. It just keeps tightening, infinitely. – Aza Holmes

 

TH

Let the Journey Begins

Oh, hello there!

My name is Tristin and I’m currently attending college when I created this blog. The first purpose I made this blog is to post my tasks and some random stuffs that splashed in my mind. You will find a lot of articles I wrote in Bahasa Indonesia, but in the future, I wish I can post some articles in English so everyone can read my writings.

I had another blog before this one, it was a Blogspot site that I created in 2015 with the same purpose as this blog, but several days ago, I got a recommendation from my lecturer, Miss Nanie, to move into WordPress (it’s a lot simpler she said, which turns out I agreed with her, and I love the fonts!)

I got influenced by a singer-songwriter, Greyson Chance, since 2011. I’ve learned a lot of things from that Oklahoman young man, like American culture, alternative music he likes, and also I learned to find my own authentic personality. He taught me to never stop getting up when you’re down through his life experience that I witnessed.

Also, I love to read books, John Green, Mitch Albom, and Dan Brown are the three writers who could blow my mind up. You might say “I know right,” but they’re truly geniuses. For instance, you can read Green’s Paper Towns, Albom’s The Magic Strings of Frankie Presto, and Brown’s (well I haven’t read much though) Inferno—it changes my mind a lot, FYI.

Wish a four paragraphs of description can pay your curiousness about me. Happy reading!

Processed with VSCO with a6 preset
She was not fragile like a flower, she was fragile like a bomb. — Rahul Singh Ratour

P.s.: The beautiful featured image above was taken by my one and only Whitemate, Stella Felicia at Tanimbar Kei, Indonesia.

P.s.s.: The posts I posted before April 20th, 2018 that you might see at the featured posts are from my previous blog. I moved the best ones to here.

Journey of Revealing The Truth

 Tristin Hartono (14150098)

(sumber foto: klik pada gambar)

 “The only way to protect the right to publish, is to publish.”

Kalimat tersebut masih menempel di pikiran saya sejak credit title ditayangkan. Ben Bradlee, yang diperankan oleh aktor kawakan, Tom Hanks, dengan jelas mengucapkan pernyataan itu ketika ia bersikeras ingin menerbitkan berita yang dapat mempertaruhkan nasib perusahaan surat kabar The Washington Post.

 

Mengambil latar waktu di tahun 1971, ketika perang Amerika-Vietnam hampir berakhir, film besutan Steven Spielberg ini  lagi-lagi berhasil mencetak 13 prestasi pada 12 ajang penghargaan film di Amerika. Selain Tom Hanks yang sudah menjadi langganan memerankan film arahan Spielberg, kita dapat melihat hadirnya Meryl Streep yang memegang peran sebagai karakter utama, yakni Katharine “Kay” Graham, penerbit The Washington Post.

 

Selain kedua tokoh di atas, saya turut menyadari keberadaan karakter yang mondar-mandir di beberapa film yang saya tonton seperti Steve Jobs (2015), Doctor Strange (2017), Call Me by Your Name (2017) hingga The Shape of Water (2017), yap, Michael Stuhlbarg, si pemeran tokoh Abe Rosenthal, editor eksekutif harian New York Times.

 

Daftar pujian yang terpampang di poster film membuat pendapat saya menjadi agak subjektif, bahkan sebelum menonton film ini. Ditambah lagi janji dosen kelas Media Online yang dengan antusias mengajak kami sekelas untuk menonton bersama di bioskop. Saya yakin bahwa film ini akan menjadi salah satu film yang menggugah antusias saya, ditambah lagi, plot cerita yang menyinggung media massa dan diperankan oleh aktor yang tak diragukan lagi kemampuannya.

 

Gambaran Plot

Konflik dimulai ketika Daniel Ellsberg (Matthew Rhys) mencuri data negara berisi dokumen perang Amerika-Vietnam yang kini disebut “Pentagon Papers”. Harian The Washington Post (selanjutnya disingkat “The Post”) yang saat itu sibuk dengan masalah peliputan pernikahan salah satu putri Presiden Nixon mendapat kabar bahwa harian The New York Times merilis berita yang menyatakan bahwa Nixon dan beberapa presiden sebelumnya memalsukan informasi perang dan mengirim tentara sebanyak mungkin meskipun pada akhirnya Amerika akan mengalami kekalahan dari Vietnam.

 

The Post menjunjung tinggi peran surat kabar yang harus berimbang dalam menyajikan informasi. Oleh karena itu, Ben Bradlee, sebagai editor eksekutif, merasa berkewajiban untuk merilis berita sesuai fakta yang akhirnya mengantarkan cerita pada perselisihan antara dirinya dengan Frederick “Fritz” Beebe (Tracy Letts), chief officer The Post.

 

Fritz yang tidak terlalu peduli tentang fakta yang seharusnya diungkapkan ke khalayak bersikeras menolak publikasi tersebut, sebab ia lebih fokus terhadap kestabilan saham The Post. Pada titik inilah Kay Graham harus memutuskan, antara mempertahankan kelangsungan bisnis surat kabarnya, atau membiarkan fakta tersebar di masyarakat.

 

Gambar yang ditata dengan apik melalui perspektif (dari penggunaan rule of third), pencahayaan, fokus, dan sebagainya membuat para penonton tenggelam dalam imajinasi sang sutradara. Pasalnya, pada 30 menit pertama saja saya sudah memerhatikan adanya gerakan kamera yang halus membingkai suasana lalu mengikuti objek yang dituju.

 

Sebagai orang awam pun, saya merasa puas dengan hasil tangkapan gambar arahan Spielberg. Meskipun bukan hal kecil, namun keramaian yang terlihat natural di kantor The Post entah kenapa sudah cukup membuat saya merasa puas, termasuk segelintir karakter yang merokok di dalam gedung (bahkan lift), demi menggambarkan suasana kantor surat kabar tahun 70an.

 

Menyinggung Feminisme

Kedatangan Kay Graham di American Stock Exchange. (dok. penulis)

Selain cerita yang berfokus pada dilema yang dialami Kay, saya juga menemukan pelanggaran terhadap paham feminisme. Kay Graham, sebagai tokoh perempuan pertama yang masuk dalam “Fortune 500 CEO in 1972”, saat itu belum memiliki pedoman bertingkah laku di tengah para pria pebisnis sehingga ia melakukan sedikit kesalahan saat pertama kali menghadiri American Stock Exchange yang ditandai dengan gerakan pelan moderator menahan bahu Kay saat ia akan berdiri.

Kay Graham menarik tumpukan berkas dari mejanya. (dok. penulis)

Contoh lainnya adalah ketika Kay sarapan dengan Ben, meskipun pangkat Kay lebih tinggi, namun Ben berani menegur Kay yang menaruh tangan di atas meja makan, lalu diikuti dengan adegan rapat Kay dengan para bankir, saat dia merasa canggung ketika menaruh tumpukan berkas di atas meja yang setelah itu diturunkannya dari atas meja, hingga para bankir yang kompak menganggap remeh sistem perekonomian The Post karena perusahaan itu dipimpin oleh seorang wanita, seperti yang diutarakan Arthur Parsons (Bradley Whitford) usai rapat.

 

Banyaknya karakter perempuan dengan kedudukan yang lebih rendah di masyarakat membuat saya mulai mengagumi sosok Kay Graham. Dia bisa menjadi tokoh perempuan yang stand out tidak hanya di antara perempuan lain, tapi juga di tengah pria dengan kedudukan tinggi. Dia pun dengan lapang dada membiarkan ayah kandungnya memberikan warisan bisnis untuk suaminya, Phil Graham, lalu meninggalkan kehidupannya bersama anak-cucu ketika suaminya harus pergi untuk selama-lamanya hingga mendedikasikan diri untuk terus mempertahankan perusahaan keluarganya. I mean, she’s seriously a strong woman, though!

(dok. penulis)

Meski diderai berbagai pujian, namun saya punya kritik tersendiri untuk film yang satu ini. Menurut saya, film ini kurang cocok jika dijadikan tontonan keluarga dengan anak-anak di bawah umur, karena cerita yang disajikan agak berat dan cukup membuat penonton Indonesia yang tidak mengerti istilah atau merk produk Amerika harus memutar otak sedikit lebih keras, misalnya ketika salah satu bankir yang menghadiri rapat membicarakan tentang Gannett’s Knight Ridder, yakni salah satu perusahaan media surat kabar dan internet yang berhenti berfungsi sejak 2006. See, saya pun harus menjelajahi internet terlebih dulu untuk mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan.

(dok. penulis)

Secara keseluruhan, film yang saya beri rating 7.5/10 ini cocok ditujukan bagi penonton yang tertarik dengan film berplot “berat” yang dibumbui sejarah kelamnya Amerika saat dipimpin Richard Nixon, juga sebagai contoh bagaimana hoax sudah ada sejak zaman dulu, serta seberapa besar perjuangan media massa cetak yang menjunjung tinggi kebenaran informasi harus melalui rintangan demi menunjukkan fakta sebenarnya. Presumably, this is a film about the journey of revealing the truth!

TH

Imlek: Tradisi Penuh Makna

sumber: antvklik.com

Musim semi sudah datang! Inilah saatnya bagi para petani di China untuk segera melakukan perayaan besar. Festival kebudayan ini sudah menyebar hingga ke Indonesia, Tahun Baru Imlek namanya. Di China, festival ini diadakan untuk merayakan hari pertama musim semi.

Tak hanya masyarakat etnis Tionghoa, namun hampir seluruh kota besar di Indonesia turut memeriahkan acara kebudayaan ini. Misalnya rangkaian ornamen yang didominasi warna merah dapat kita lihat meramaikan tempat tertentu seperti pusat barang grosir (khususnya Jakarta Pusat), bank, hingga beberapa pusat perbelanjaan.

Bagi etnis Tionghoa sendiri, momen Imlek digunakan sebagai kesempatan untuk bertemu dan bercengkrama dengan anggota keluarga yang jarang ditemui. Nah, saya yang sudah merayakan Imlek sejak kecil pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Yap, angpao!

Amplop khas berwarna merah yang biasanya dihiasi oleh motif atau gambar lucu ini memiliki daya tarik tersendiri untuk setiap orang. Mulai dari desain hingga jumlah isi angpao adalah hal yang disukai setiap orang yang menerimanya.

Selain angpao, masih banyak aksesoris lain yang “menghiasi” Tahun Baru Imlek, sepertibarongsai, pakaian baru berwarna merah, pohon dengan bunga sakura yang diberi hiasan angpao, lampion kertas yang digantung di langit-langit rumah, dan tak lupa, ragam hidangan khas Tionghoa yang disajikan dalam jumlah besar.

sumber: surabayatimes.com

Hidangan Khas Imlek
Perayaan Imlek berlangsung selama 2 hari atau lebih, tergantung seberapa banyak keluarga yang harus dikunjungi. Di hari pertama, tuan rumah yang melakukan open house biasanya menyajikan banyak makanan ringan (snack) hingga makanan berat.

Makanan khas yang wajib ada saat Imlek adalah beragam jenis kue kering, seperti kue nastar, kue putri salju, kastengel, lidah kucing, dan kue kacang. Selain itu, hidangan utama yang biasanya terdiri dari mi, seafood, dan berbagai jenis daging halal dan non halal pun tak boleh ketinggalan.

Tak hanya beragam, beberapa makanan khas ini juga memiliki nilai tersendiri. Contohnya adalah kue nastar yang melambangkan keberuntungan. Berasal dari Bahasa Hokkian, “ong lai” yang secara harafiah berarti pir emas, kue nastar juga berarti keberuntungan datang. Warna emas yang terpancar dari kue nastar, serta lembut dan manisnya nanas dalam balutan adonan kue melambangakan rezeki berlimpah. Semakin banyak isi nanas, semakin berlimpah juga rezekinya.

Selanjutnya ada mi goreng yang berarti anugerah umur panjang, kebahagiaan, dan rezeki melimpah bagi setiap orang yang memakannya. Selain kue dan hidangan utama, ada juga jeruk yang disajikan bersama daun dan tangkainya. Jeruk yang berwarna emas dan agak berat diartikan sebagai emas, sedangkan adanya tangkai dan daun berarti kemakmuran dan kesejahteraan yang akan selalu tumbuh.

sumber: asumsi.co

Ritual Keagamaan
Tahun Baru Imlek identik dengan ritual salah satu agama yang diakui di Indonesia, yakni agama Budha. Saat hari pertama Imlek, umat Budha biasanya mengunjungi kelenteng atau vihara di pagi hari untuk melakukan sembahyang kepada leluhur. Setelah itu, akan ada beberapa anak remaja yang menampilkan pertunjukkan barongsai di sekitar kelenteng atau vihara.

sumber: kelanakota.suarasurabaya.net

Kata “barongsai” berasal dari gabungan 2 bahasa, yakni Bahasa Bali dan Tionghoa dialek Fujian (Hokkien). Secara etimologis, barongsai terbagi menjadi 2 kata, “Barong” (Bali) dan “Sai” (Tionghoa), yang sama-sama berarti “singa”.

Wu Chenxu, Guo Licheng dan Ye Deming dalam bukunya Zhongguo de Fengsu Xiguan(Taipei, 1977) mengatakan bahwa bangsa Tionghoa adalah bangsa yang mengutamakan kebersamaan dan tidak bersifat individualis. Pertunjukkan barongsai yang melibatkan belasan orang adalah salah satu contohnya. Setiap pemain barongsai memiliki tugas masing-masing.

Tidak ada tugas yang tidak lebih penting dari yang lainnya. Satu tim barongsaimembutuhkan 2 hingga 3 orang untuk membawakan tarian dengan kostum singa, lalu ada anggota lain yang memainkan alat musik khas, seperti simbal (cai-cai), gong (nong), dan tambur. Setiap anggota tim harus saling kompak memberikan pertunjukkan, di sanalah kerja sama dan kekompakan dibutuhkan.

sumber: telegraph.co.uk

Perayaan Pasca Imlek
Selama seminggu sejak hari pertama perayaan Imlek, masyarakat etnis Tionghoa tidak diperbolehkan untuk menyapu atau membersihkan rumah mereka. Konon katanya, jika kita menyapu rumah berarti menyapu (mengusir) rezeki yang datang saat Imlek berlangsung.

Lima belas hari setelah Tahun Baru Imlek, ada perayaan lagi yang dirayakan, yaitu Cap Go Meh. Secara harafiah, Cap Go Meh berarti “lima belas malam”, berasal dari dialek Hokkien. Ini adalah hari terakhir perayaan Imlek, di mana etnis Tionghoa melakukan tradisi makan onde dan kue keranjang.

Kue onde yang berbentuk seperti bola dengan taburan biji wijen di luarnya akan mengembang ketika digoreng, ini melambangkan keberuntungan yang semakin bertambah seiring “dimasak”, sedangkan kue keranjang atau “Nian Gao” yang berarti kue tahunan juga mempunyai artinya tersendiri.

sumber: indonesia-tourism.com

Secara filosofis, kue keranjang yang terbuat dari tepung ketan dan memiliki sifat lengket memiliki arti persaudaraan yang sangat erat dan menyatu. Rasa kue keranjang yang manis juga menggambarkan rasa suka cita dan kegembiraan.

Bentuk kue yang bulat dan tak bersudut juga mempunyai maknanya tersendiri, bentuk ini melambangkan hubungan keluarga yang tidak melihat ada yang lebih penting selain keluarga dan akan selalu bersama tanpa batas waktu.

Imlek – Tradisi Penuh Makna
Zaman boleh berubah, generasi akan berganti seiring waktu, umur akan semakin berkurang yang berarti momen berkumpul kembali dengan sanak saudara akan berkurang, namun sifat tahan lama kue keranjang dapat mewakili pesan yang harus diingat setiap generasi etnis Tionghoa; hubungan keluarga akan tetap abadi meski zaman sudah berganti.

TH

Berakhir Pekan di Surganya Indonesia

Tristin Hartono (14150098)

Oktober, 2017, ketika saya bersama teman-teman iseng merencanakan perjalanan ini, “Bangkok?”, “Jogja aja,” “Nggak ah, Jogja lebih horor daripada Bali, “Kalau gitu kita ke Bali aja! “Atau mau ke Malang?” percakapan ini berlanjut, sehingga masih di bulan yang sama, pesawat dengan penerbangan Jakarta-Denpasar dan sebaliknya di tanggal 2 dan 4 Februari sudah terpesan untuk 5 orang.

 

“…and welcome to Bali.” Tutup seorang wanita dari pengeras suara di pesawat yang memecah keheningan di otak saya, menguapkan memori yang teringat ketika perjalanan ini hanya sebuah guyonan belaka.

 

Kami sampai di pintu kedatangan ketika seorang tour guide yang juga teman salah satu ‘wali’ (pembina kegiatan gereja‒red) kami menyambut dengan senyuman. “Kenalin, ini namanya Ko Puji,” ujar pembina wanita kami, Ci Feciana. Mengikuti budaya kami semua, yakni etnis Tionghoa, adalah hal biasa untuk memanggil “Cici” dan “Koko”.

 

The Adventure Begins

Perjalanan ini diawali dengan santap siang di Warung Cahaya yang menyediakan hidangan non-halal. Lalu setelah melakukan check-in di hotel, perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi Pantai Canggu di Kuta Utara. “Akhirnya, udara pantai!” saya membatin. Saat itu matahari masih tinggi, yang untungnya berbanding lurus dengan semangat kami.

 

Angin yang berembus pelan melahirkan deburan ombak yang tenang, hingga mengantarkan saya pada ketenangan sementara dari hiruk pikuk Kota Jakarta. Meski pasir pantai terlihat agak kotor dan berwarna gelap, namun view berupa anjing liar yang tinggal di pura dekat pantai membuat saya dapat melihat, bagaimana anjing dapat hidup berdampingan dengan manusia.

 

Setelah beberapa kali mengambil swafoto bersama, tiba-tiba

Stanley dan pemiliknya sedang bermain di pantai (dok. penulis)

seekor anjing ras besar berwarna hitam mendatangi saya. Sembari menggigit botol minum bekas berisi sedikit pasir, ia melepaskan gigitannya, membiarkan botol itu terjatuh di kaki saya.

 

Meski belum kenal, namun anjing betina yang akhirnya diketahui bernama “Stanley” ini tidak berusaha menghindar atau menggigit ketika saya usap kepalanya. Kode yang ia kirim saya jawab dengan mengambil botol yang ia berikan, lalu melemparnya ke arah laut. Ia berlari dengan semangat, mengambil botol mainannya tersebut, lalu kembali ke kaki saya melakukan hal yang sama.

 

Perjalanan dilanjutkan dengan menikmati gelato yang konon hanya ada di Bali, sebab sisanya hanya ada di luar Indonesia, Gusto Gelato namanya. Harga yang ditawarkan pun setara dengan lezatnya varian rasa es krim yang beragam, mulai dari spicy chocolate, hingga lemongrass (sereh) dan kemangi.

Salah satu menu Gusto Gelato, yum! (sumber: klik pada gambar)

 

 

Hari pertama di Bali ditutup dengan berbelanja di Krisna, Kuta, di mana sebelumnya kami sudah menyantap Soto Bakso Warung Wijaya. Saya sangat menyarankan Anda untuk mencoba soto bakso yang terdapat di Jalan Kuta Raya ini jika Anda adalah penyuka soto daging, sebab kuah yang disajikan sangat khas dengan tambahan daging dan bakso sapi yang kenyal dan juicy.

 

Burn the Skin!

Di hari kedua, kami mengunjungi tempat yang tak terduga. Sejak meninggalkan hotel, saya terlelap akibat didukung cuaca agak mendung, dan menyerahkan rencana perjalanan kepada Ci Feciana dan Ko Puji. Selang beberapa waktu, saya dibangunkan dengan penampakan tebing kapur yang menjulang tinggi dan lebar menghiasi jalanan.

 

Setelah mengikuti jalan menanjak ke arah puncak tebing, tampaklah proyek megah setinggi 120 meter yang melibatkan ratusan seniman dan ‘trailer’nya sudah ada sejak 1997 di Desa Ungasan, Kuta Selatan. Ya, patung Garuda Wisnu Kencana (GWK)… dari jarak dekat! Meski patung ini terkenal, namun belum banyak wisatawan yang bertandang ke tempat ini.

Patung Garuda Wisnu Kencana (dok. penulis)

Perjalanan dilanjutkan ke Pantai Melasti. Namun, mobil terhenti di pinggir jalan. Ko Puji mengiyakan permintaan kami untuk berfoto di jalan aspal dekat Banyan Tree Chapel yang dihiasi dengan pepohonan dan tebing kapur. “Yuk, kita naik tangga dekat sini,” ujarnya setelah kami selesai berfoto.

Jalan di Pinggir Banyan Tree Chapel (dok. penulis)

Awalnya saya bingung, sebab pantai tujuan kami sudah terlihat di depan mata dan kami seharusnya turun ke arah pantai, bukannya naik. Namun, saya hanya mengikuti arahan tour guide. Bagi Anda yang kurang kuat menanjak tangga dan tidak berani dengan ketinggian, tur ini kurang disarankan.

Tangga menuju Tebing Kapur Melasti. Berani mencoba? (dok. penulis)

Kami mendaki kurang lebih hampir 100 anak tangga, lalu menapaki jalan setapak dengan bebatuan licin, dan kami sampai di bebatuan karang terjal nan tinggi. Inilah yang disebut dengan surga yang terletak di balik tebing kapur berkelok. Cahaya matahari yang bersembunyi di balik awan sirostratus dan deburan ombak dari bawah sana menjadi pelengkap tur Pantai Melasti ini.

 

Asik berfoto di tebing tak membuat kami melupakan tujuan utama, pantai! Kami kembali ke mobil, lalu Ko Puji mengantarkan kami ke ujung pantai Melasti yang benar-benar tidak dijamah pengunjung. Tidak heran, pantai kecil yang dihiasi aspal yang hancur terkena abrasi ini sepertinya sering pasang ketika hujan, dan pasir hitamnya didominasi oleh batu besar, sayangnya, hanya saya yang menyukai suasana ini.

Bagian ujung Pantai Melasti, hampir tak terjamah manusia (dok. penulis)

Berkeliling Discovery Mall, berbelanja sandal yang hanya tersedia di Bali, Fipper, dan menyantap Babi Guling Bu Dayu menjadi penutup di hari kedua ini. Rasanya saya masih butuh beberapa hari lagi untuk berkelana menjelajahi Bali. Namun, waktu berkata lain, saya harus segera berkemas agar esok pagi dapat pergi ke gereja dan meninggalkan hotel lebih cepat.

Good Bye Bali

Sepulang dari gereja, kami menyantap sarapan sate babi di Jalan Buni Sari, lalu melancong ke toko snack kekinian, Rasalokal, dan lanjut ke Beachwalk, Kuta, sebelum akhirnya makan Nasi Tempong Indra di Jalan Dewi Sri, Legian, dan mengakhiri perjalanan kami di Bali.

Salah satu view dari Beachwalk Kuta (dok. penulis)

Overall, perjalanan pertama ke Bali selama 3 hari 2 malam ini cukup berkesan bagi saya yang menyukai petualangan di tempat yang tidak terlalu ramai. Meskipun saya tidak terlalu menikmati wisata kuliner dan merasa kurang puas karena tidak mengunjungi pura karena berhalangan, namun kebersamaan di perjalanan adalah hal yang saya utamakan walau harus membiarkan kulit saya terbakar akibat harus mengabadikan momen terbaik kami.

Bonus! Hasil swafoto di Pantai Canggu ditemani teriknya matahari (dok. penulis)

Jika Anda berminat untuk melakukan perjalanan ke Bali bersama rombongan kecil dan ingin lebih mengeksplor tempat-tempat unik yang mungkin sangat jarang dikunjungi wisatawan, Anda dapat menyewa jasa tour guide Ko Puji dengan menghubungi nomor WhatsApp +62-818-0886-3212/+62-813-5366-1688. Dengan harga bersahabat, Anda sudah dapat berkeliling Bali dan mendapat teman tour guide baru lho, hihihi…

TH

Cara Melatih Labrador: Si Detektif Berkaki Empat

Tristin Hartono 14150098

Lincah, berbulu pendek, memiliki moncong yang agak menonjol, cukup tinggi dan kokoh, serta kesetiaan yang melekat pada sifat alaminya membuat manusia tertarik untuk memelihara. Sudah dikenal sebagai sahabat baik manusia sejak ribuan tahun lalu tak membuat hewan yang satu ini lantas menjadi “angkuh” layaknya kucing.

Bayi Labrador. (sumber foto: klik pada gambar)

Hubungan baik yang terjalin antara manusia dengan anjing terus “dibina” melalui pelestarian hingga akhirnya lahir berbagai jenis anjing dengan ras berbeda, misalnya Labrador Retriever. Ras anjing asli Inggris ini kini memiliki beberapa jenis ras lain, misalnya American dan English Labrador Retriever.

 

Bentuknya yang simpel dengan mimik innocent membuat pecinta anjing terpikat olehnya. Sejak kecil, anjing Labrador atau yang biasa disingkat Labs ini memiliki postur tubuh mini serta bulu pendek yang halus dan lembut, dengan kaki pendeknya ia suka berlari dan melompat di tengah rumput pekarangan rumah.

 

Saat bertumbuh besar, kaki pendeknya akan memanjang, lemak berubah menjadi otot dan tampilan chubby perlahan menghilang, digantikan tampilan sosok yang berwibawa. Hal inilah yang menjadi keuntungan pemilik Labs karena tidak perlu terlalu sering ke salon untuk memelihara bulu yang panjang.

 

Perbandingan Labrador kecil dan dewasa. (sumber foto: klik pada gambar)

Di samping itu, otak Labs yang terbilang cukup pintar pun memudahkan pemilik dalam melatih anjing ini melakukan berbagai hal, mulai dari peraturan buang air, hingga mencari sumber bau. Tak heran,  anjing ini biasa digunakan polisi Amerika dalam menyelidiki letak narkoba.

 

Lantas, bagaimana cara kita mengajari Labs tanpa pelatih profesional? Pertama, sediakan benda yang paling menarik hati si anjing, seperti bola, boneka handuk, mainan dari kayu, atau botol plastik. Latihan lebih efektif di malam hari saat indera penglihatan anjing melemah dan indera penciuman bekerja lebih kuat.

Latihan dilakukan di lapangan yang jauh dari kebisingan. Bila melatih lebih dari 1 anjing, usahakan posisi anjing berjauhan. Pancing anjing agar mendekat dengan menunjukkan mainan yang disukainya.

 

Tepuk tangan kiri pada paha agar ia berpindah ke samping kiri pelatih. Lanjutkan dengan aba-aba untuk mengajaknya berjalan dengan pelatih. Gunakan isyarat tangan untuk memperlancar komando.

 

Ulangi perintah beberapa kali hingga ia mau berhenti. Kemudian tekan bagian pinggul agar anjing mau duduk. Bila terbukti dilaksanakan dengan sempurna jangan segan-segan memberikan pujian.
Setelah latihan dasar dikuasai, latihan lanjutan bisa dilakukan. Perintahkan anjing menunggui suatu lokasi tertentu seperti rumah, toko, atau gedung. Itu merupakan latihan lanjutan dari perintah stay atau tinggal. Suruh ia menggonggong bila ada orang asing mencurigakan.

 

“Jika anjing telah mahir menjadi penjaga, mulai perkenalkan bekal latihan menjadi detektif. Kenalkan bau kokain, morfin, dan jenis narkoba yang lain ke arah indera penciuman secara rutin. Tunjukkan benda berbau itulah yang akan menjadi target pencarian.” Ujar Hanni Sofia melalui situs anjingras.com.

Jadi, bagaimana? Apakah Anda tertantang untuk melatih anjing Labs Anda sendiri?

Labrador dewasa. (sumber foto: klik pada gambar)

TH

Pembakar Lidah, Penggugah Selera

Oleh Tristin Hartono (14150098)

 

Sang surya telah membenamkan diri di ufuk barat, menandakan sore hari telah tiba, waktunya kedai-kedai pinggir jalan di bilangan Kelapa Gading memulai aktivitas. Kebalikan dari para pekerja yang menyelesaikan pekerjaan dan pulang ke rumah, para pekerja di sini memulai aktivitas mencari peruntungan mereka di sore hari.

 

Salah satu kedai dengan area bengkel sebagai latar belakang menarik perhatian saya untuk mencicipi keunikan rasanya. Adalah Kedai Abnormal yang biasa menyajikan mi instan dengan rasa pedas berlevel namun diperlengkap dengan konsep unik.

 

Canda tawa tetap mengalir di setiap peluh yang menetes, senyuman pun tak pernah absen dari wajah mereka, rasa hangat kekeluargaan sangat terlihat di antara para pekerja kedai yang memulai aktivitasnya mulai pukul 7 malam ini. Mereka mempersiapkan diri seiring bertambahnya parkiran kendaraan di pinggir jalan.

 

Suasana masih terlihat agak lengang ketika saya dan teman-teman menapakkan kaki di tempat ini, kursi nomor empat dipilih sebagai arena untuk menguji kekuatan. Tak lama setelah kami duduk, kursi-kursi lain mulai dipenuhi oleh pengunjung.

 

Pelayan mulai membagikan bon dan sebuah pen untuk diisi dengan menu yang sudah dapat dipilih sendiri. Menu yang tergeletak di atas meja mempermudah pengunjung untuk memilih dan menulis menu yang hendak mereka nikmati. Nantinya, pesanan kami akan diambil tepat mulai pukul 7 malam.

 

Tidak hanya letak tempat yang unik, kedai ini juga dilengkapi dengan meja yang berbeda dengan kedai lain. Meja yang digunakan hanya selembar kayu tipis dicat hitam dengan keempat kaki berwarna serupa. Atap berupa terpal berwarna kuning menjadi pelindung bagi pengunjung ketika hujan.

 

Penantian pun berakhir, setelah menunggu kurang lebih 15 menit, makanan kami akhirnya datang. Semerbak mi instan terasa ketika pelayan menaruh kuali berdiameter 15 cm dan panci kecil berisi mi yang melewati wajah saya ke arah meja. Tidak hanya mi goreng, mi kuah pun terlihat menggugah selera.

 

Inilah salah satu keunikan lain dari Kedai Abnormal. Tidak ada mangkuk atau piring yang digunakan sebagai wadah untuk makanan, namun mereka menyajikan langsung di panci untuk mi kuah, dan wadah kuali untuk mi goreng.

Mi kuah level 5 milik salah satu teman saya

Pesanan saya datang terakhir, yaitu “Indomie Goreng Abnormal Level 3 + Keju” (lihat Featured Image di atas). Hmm, rasa penasaran pun menjadi-jadi ketika saya melihatnya secara langsung. Dipercantik oleh sayuran hijau, telur urak-arik di ujung kuali, dan parutan keju menggunung di atasnya, membuat mi dan sambal akhirnya “tersembunyi” dari penglihatan.

 

Rasa lapar saya lantas memuncak ketika menyadari adanya pangsit goreng di bawah keju, sendok saya pun segera menyambar, memecah pangsit tersebut dan sumpit mulai memungut remah-remahnya bersama dengan keju yang sedikit menggumpal. Setelah selesai icip-icip penghias mi, waktunya saya menuju hidangan utama.

 

Sebenarnya saya kurang suka dengan makanan kekinian yang ekstrim seperti ini, namun rasa penasaran mengalahkan semuanya itu. Agar tidak terlalu terasa pedas, saya mengaduk isi kuali tersebut supaya rasanya tercampur. Lalu akhirnya sejumput mi mendarat di sumpit hijau saya.

 

Ketika masuk ke mulut, saya mencari rasa keju yang seharusnya tercampur, namun ternyata, rasa asin dan pedas dari perpaduan mi dengan sambal mengalahkannya. Lidah saya terasa agak “syok” karena sudah lama tidak merasakan makanan yang sangat pedas. Akhirnya rasa pedas dan asin mendominasi mulut saya.

 

Benar saja, mata saya mulai berkaca-kaca dan terlihat butiran air yang menggenang lalu jatuh ke pipi. Saya pikir saya akan menyerah, namun ternyata rasa pedas yang nagih membuat saya terus melahap setiap suap mi hingga habis.

 

Keunikan selanjutnya terdapat pada minuman yang disajikan. Ada dua pilihan ukuran di hampir setiap judul minuman, yakni “Normal” dan “Abnormal”. Tak hanya itu, dalam daftar, bisa juga kita temui judul minuman yang unik, seperti Sunlight, Lifebuoy, bahkan Kobokan.

 

“Untuk yang abnormal, dia minumnya di bucket atau di ember,” jelas Rizki, salah satu pelayan Kedai Abnormal ketika kami wawancarai,” wajah sumringahnya membuat pelanggan merasa dianggap seperti teman mereka sendiri.

 

“Untuk kobokan sendiri (dibuat dari) perasan jeruk nipis, di-mix sama gula secukupnya, kemudian untuk Lifebuoy, (isinya) ada Marjan cocopandan, tambah perasan jeruk nipis, ditambah biji selasih, untuk Sunlight (berisi) Marjan melon tambah irisan jeruk nipis,” imbuhnya.

 

Sejarah Kedai Abnormal

Kedai Abnormal dibuka sejak 24 September 2014 oleh empat orang yang menginginkan tempat nongkrong untuk melepas penat setelah bekerja, dua di antaranya memegang kendali di Kelapa Gading, yakni Reinhard dan Noveria. Mereka akhirnya berencana untuk membuat usaha baru daripada hanya nongkrong dan menghabiskan uang.

 

Nama “Abnormal” sendiri dipilih karena unik. “Untuk pendapat saya sendiri, ya, karena terlihat dari pekerjanya sendiri tuh, dia (pelayan) memiliki ciri khas masing-masing, ada yang, ya seperti yang terlihat lah pokoknya (bertato, perokok, putus sekolah), agak nggak normal gitu lah, bagian kehidupan dan kepribadiannya,” ujar Rizki.

 

Sejak mulai dibuka 2 tahun lalu, kini Kedai Abnormal sudah memiliki cabang. Berpusat di Kelapa Gading, mereka juga membuka cabang yang masih dalam kotamadya Jakarta Utara, yakni di daerah Muara Karang.

 

Harga hidangan terjangkau yang dibanderol mulai dari Rp8 ribu hingga Rp35 ribu menjadi magnet bagi para pemburu makanan unik untuk mencoba hidangan dari kedai ini. Oleh karena itu, pengunjung yang datang bervariasi, mulai dari kalangan remaja, dewasa, bahkan keluarga yang membawa anak kecil.

 

Tak hanya mi pedas berlevel, disini juga tersedia roti panggang bertekstur lembut namun garing dengan berbagai rasa yang siap menggoyang lidah Anda, harganya pun cukup worth it, yakni mulai Rp8 ribuan.

Roti bakar keju

Roti bakar cokelat+oreo

 

 

 

 

 

 

 

Tertarik mencoba? Saya menyarankan agar Anda datang beberapa menit sebelum pukul 7 malam, karena tempat duduk di kedai ini sangat cepat terisi. Jangan lupa, ajak orang-orang terkasih Anda untuk saling berbagi rasa, canda, dan tawa. Selamat mencoba.

TH

Bentangan Lembah di Utara Bandung

Oleh Tristin Hartono

Matahari pagi kemerahan merambah celah dedaunan hijau yang tergantung lemas. Ladang sawah yang membentang di tengah tebing menampakkan wujudnya menandakan tanaman siap dipanen. Tak hanya itu, kegiatan wisata juga hampir dimulai, ditandai dengan bertambahnya jumlah pesepeda yang mengayuh kendaraan mereka ke arah puncak.

Di sanalah Dedi melakukan perjalanan bersama rekan dan istrinya menikmati ciptaan Tuhan yang baru mereka ketahui ini. Membayangkan hasil pemandangan yang akan didapatnya nanti membuatnya semakin semangat melangkah. Berharapkan jerih payah yang ia keluarkan dapat terbayar dengan sajian alam yang menakjubkan, Dedi tetap melekukan senyum penuh semangat sembari melewati jalan setapak itu.

Jalan berliku itu memang selalu membuat wisatawan tertantang untuk segera mencapai puncak demi menyaksikan keagungan Ilahi tersebut. Kabut yang menyelimuti rumah penduduk seolah mendekap hamparan sawah dan mulai terangkat bagaikan terangkatnya selimut yang mendorong mereka memulai rutinitas. Udara segar pagi yang mengalir di sekitar Tebing Keraton tak pernah gagal memacu semangat penduduk untuk terus bekerja.

Pohon-pohon menjulang tinggi di sebelah kiri jalan yang harus dilalui wisatawan untuk mencapai puncak. Jika wisatawan tidak ingin merasa lelah atau tidak kuat dengan perjalanan menanjak yang panjang, mereka dapat menyewa ojek yang dibandrol Rp25 ribu untuk satu kali perjalanan.

Sebenarnya perjalanan tersebut dapat ditempuh dengan mobil, namun kendalanya terdapat pada jalanan yang belum selesai diperbaiki, sehingga wisatawan mau tidak mau harus menempuh lagi perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 3 KM. Tapi tidak perlu khawatir, pasalnya, matahari yang bersinar tidak terlalu terik dan udaranya juga tidak pengap seperti di kota.

Tantangan terberat yang harus dihadapi wisatawan yaitu tanjakan terakhir yang kemiringannya kurang lebih mencapai 150 derajat. Namun tak perlu cemas, pintu masuk Tebing Keraton sudah berdiri tegak di depan mata. Para pedagang makanan kecil dan air mineral juga siap sedia melayani permintaan pengunjung yang kelelahan. Jika sudah cukup melepas lelah, kita bisa langsung masuk ke area wisata.

Pintu gerbang yang dibuat dari batu melengkung di atas permukaan aspal. Kita dapat membeli tiket masuk dari loket yang berada di pintu masuk. Dengan membayar Rp11 ribu untuk wisatawan domestik dan Rp76 ribu untuk wisatawan asing, pengujung sudah dapat menikmati indahnya pemandangan hutan lindung dari tebing yang diberi pagar kayu.

Sedikit berjalan masuk setelah pintu gerbang, terdapat sebuah gazebo yang dilengkapi dengan meja dan kursi kayu agar pengunjung dapat merasa seperti sedang berada di alam bebas. Di sana pengunjung dapat bercengkrama sambil menikmati bekal yang mereka bawa, atau bisa langsung melewati jalan setapak menuju ujung tebing yang dihiasi pohon dan rerumputan serta  terdapat batu-batu besar yang terlihat unik karena hanya dapat dijumpai di ujung tebing.

Setelah sampai di ujung tebing, kita dapat melihat pemandangan alam yang membentang dari kiri ke kanan sejauh mata memandang. Di sebelah kiri, pemandangan didominasi dengan pegunungan yang hampir penuh dihiasi pohon pinus dan berlanjut sampai ke arah tengah tebing. Lalu di sebelah kanan, kita dapat melihat setengah hutan pinus yang semakin apik ditambah hamparan sawah dan segelintir rumah penduduk.

Sejarah Tebing Keraton

Tebing Keraton dibuka menjadi tempat wisata sejak bulan Agustus 2014. Terletak di daerah Patahan Lembang, area wisata ini satu paket dengan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda yang dibagi juga menjadi beberapa blok, yaitu Monumen Ir. H. Djuanda, Curug Dago, Museum Ir. H. Djuanda, outbond, Goa Jepang, Goa Belanda, Curug Omas, penangkaran rusa, dan Curug Koleang.

Nama “Tebing Keraton” berasal dari komunitas mahasiswa pesepeda dari Jogja yang datang ke tebing ini lalu mengunggah foto tebing beserta kegiatan mereka ke media sosial dan memberi nama Tebing Keraton. Sejak saat itu nama Tebing Keraton menjadi semakin dikenal oleh masyarakat luas dan pengunjung mulai datang bergerombol untuk bersepeda atau hanya menikmati pemandangan alam.

Processed with VSCO with preset
Hutan dan pegunungan yang terbentang di sebelah kanan tebing. (Dok: Penulis)

Area ini diambil menjadi tempat wisata karena pemerintah dan dinas kehutanan setempat khawatir jika pengunjung semakin banyak dan area ini masih terlantar, tempat ini akan dirusak oleh manusia yang tidak bertanggungjawab. Jadi, sebaiknya pemerintah membuat area tebing ini menjadi tempat wisata dan dijaga dengan baik sebelum terlanjur dirusak.

Jika dihitung dari mulai diresmikan sebagai tempat wisata pada Agustus sampai Desember 2014, jumlah pengunjung yang datang ke Tebing Keraton ada sekitar 500 sampai 700 orang termasuk hari Sabtu dan Minggu. Dibuka mulai pukul 4:30 pagi, area ini tak pernah sepi pengunjung sampai waktunya ditutup pada pukul 6 sore.

Prospek ke Depan

Menurut Iwa Kartiwa, Kepala Pengelola Tebing Keraton, jika sebuah kawasan wisata belum berjalan selama 5 tahun, maka masih dianggap baru dan membutuhkan adanya pembangunan, misalnya toilet, jalanan, serta sarana, dan pra-sarana. Sedangkan jika sudah melebihi 5 tahun, maka disebut perbaikan, sedangkan Tebing Keraton yang baru berjalan hampir 2 tahun masih memerlukan banyak penambahan fasilitas, seperti jalanan setapak yang tidak licin dan berbatu, shelter untuk kendaraan, gazebo, serta camping ground.

Ke depannya, pihak Tebing Keraton rencananya akan membuat lampu penerangan di jalan setapak dalam area wisata, “Tebing Keraton ini ada rencana dibuka untuk malam juga, karena kita sebagai pengelola lapangan dan pihak terkait di lapangan sudah mengukur jalan untuk lampu penerangan,” ujar Iwa. Tujuannya, yaitu agar jika sudah dibukanya wisata malam, wisatawan dapat berjalan tanpa direpotkan oleh penggunaan senter atau alat penerangan lain.

Tidak hanya fasilitas, mereka juga bertekad untuk memberikan pengamanan wilayah yang lebih intens melalui tenaga kerja yang dapat berinteraksi secara baik dengan masyarakat. Oleh karena itu, pihak Tebing Keraton merekrut anggota penjaga keamanan yang mumpuni, misalnya partisipan dari masyarakat.

“Ada masyarakat sekitar sini yang tergabung dalam partisipatif. Partisipatif itu adalah sekelompok masyarakat atau perwakilan dari desa yang diperbantukan oleh dinas kehutanan,” jelas Iwa.

Melalui tim perwakilan dari desa untuk menjaga keamanan Tebing Keraton, diharapkan agar hubungan antara penjaga Tebing Keraton dengan masyarakat di lingkungan sekitarnya tidak terlihat begitu kaku atau canggung karena kebanyakan dari mereka sudah cukup mengenal satu sama lain.

Processed with VSCO with preset
Dok: Penulis

Nah, jika Anda memiliki rencana untuk pergi berlibur ke Bandung, khususnya di Bandung Utara, tidak ada salahnya jika nama Tebing Keraton tercatat dalam daftar tujuan wisata Anda.

TH